DEKAT TAPI GAGAL PAHAM

Saudaraku, kedekatan hubungan dengan seseorang tidak menjamin mereka saling memahami.  Seringkali kesalah pahaman terjadi karena gagal fokus dan gagal paham terhadap apa yang diinginkan satu sama lain.  Murid Yesus yang 24 jam bersama-Nya pun pernah mengalami gagal paham itu.  Mari kita merenungkan Markus 8:14-21. Para murid merasa tersindir ketika Yesus menyebut kata ragi.  Mereka pikir Yesus menegur mereka karena persediaan logistik yang kurang, padahal Yesus sedang membicarakan tentang “ragi” atau pengaruh jelek.  Istilah ragi memang seringkali menjadi kiasan oleh para guru Yahudi untuk mengatakan tentang pengaruh buruk seseorang pada orang lain.  Namun anehnya saat Yesus memakai istilah itu untuk menjadi pengajaran dan menunjukkan sikap-Nya pada kejadian yang baru saja terjadi (Markus  8:11-13), para murid malah menanggapinya dengan cara yang berbeda.  Mereka malah merasa tersindir karena berpikir bahwa Yesus memakai istilah ragi untuk menyinggung soal kurangnya logistik akibat kealpaan mereka.  sama sekali tidak nyambung.  Namun dari hal itu dapat direnungkan beberapa hal menarik yaitu : Perbedaan fokus pemikiran Para murid gagal melihat apa yang menjadi fokus pengajaran Yesus.  Mereka lebih memikirkan tentang fisik dan tidak siap ketika Yesus membicarakan hal yang lebih berat dan lebih serius yaitu pengaruh ajaran Farisi dan sikap Herodes terhadap pemikiran mereka, yaitu minta tanda dengan penuh prasangka.    Kegagalan memercayai Yesus Para murid menjadi saksi dan bahkan membantu Yesus ketika Ia membuat mukjizat memberi makan ribuan orang, namun kejadian itu tidak membuat mereka memercayai Yesus sepenuhnya sehingga masih merasa tersindir ketika Yesus bicara tentang ragi.  Mereka masih berpikir Yesus menegur mereka karena lalai membawa roti dan takut kelaparan.  Mereka lupa bahwa Sang Guru bisa membuat mukjizat penggandaan roti sehingga Ia tidak perlu khawatir soal itu.  Murid Yesus memiliki kadar iman yang mirip dengan Farisi: Masih belum memercayai Yesus. Dekat dengan seseorang bukan berarti memahami apa yang ada dalam pemikiran orang itu.  Menjalani sebuah peristiwa bersama dengan seseorang bukan berarti  memiliki sudut pandang yang sama tentang peristiwa itu.  Inilah yang terjadi dalam hubungan Yesus dan murid-murid-Nya.  Entah seperti apa raut wajah Yesus ketika melihat kegagalpahaman para murid-Nya saat itu, maka tidak heran kalau Ia mengatakan mereka degil (gagal paham).   Beberapa orang dengan yakin mengatakan mereka dekat dengan Tuhan karena Tuhan selalu menjawab semua doanya dan ia sudah melakukan semua kewajiban agama, pelayanan aktif di gereja, membawa banyak jiwa untuk Tuhan namun ternyata gagal paham dengan keinginan-Nya.  Dekat dengan Allah seharusnya diiringi dengan pemahaman terhadap apa yang Allah inginkan, yaitu melakukan apa yang dikehendaki-Nya.  Sungguh ironi bila apa yang dikatakan Yesus dalam Matius 7:21-22 benar-benar terjadi, orang yang merasa sudah melakukan banyak hal justru ditolak oleh-Nya.  Hal itu dikarenakan ukuran kedekatan menurut Yesus adalah memahami dan melakukan kehendak-Nya.  Yesus sendiri mengatakan bahwa tujuan hidup-Nya di dunia adalah melakukan kehendak Bapa-Nya (Yohanes 4:34).  Oleh karena itu sangat penting bagi setiap orang percaya untuk memeriksa diri tiap saat dan bertanya: Sudahkah saya memahami dan melakukan kehendak-Nya?  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag) manusia yang serius menjalani kehidupan agama maka ia disebut orang saleh karena melaksanakan semua aturan dalam agama itu.  Tentunya ini baik  namun bila mereka gagal menyeimbangkan diri maka yang terjadi adalah keterasingan dengan lingkungan sosialnya dan bahkan penghakiman kepada sesama.  Seumur hidupNya, Yesus benar-benar mengecam sikap seperti ini.   Mari renungkan Markus 7:1-13. Protes keras para Farisi dan ahli Taurat terhadap beberapa murid Yesus yang dianggap melanggar adat istiadat membuatNya tergerak untuk menyatakan pendapat.  Bukan karena Ia mau membela ‘kesalahan’ muridNya sendiri namun Yesus lebih ingin membuka mata para orang saleh itu tentang diri mereka sendiri.   Yesus mengecam : Kemunafikan dan egosentris bermodus agama. Yesus mengerti motivasi para Farisi dan ahli Taurat dalam melaksanakan Hukum.  Mereka ingin penghargaan dan merasa layak untuk ‘menghakimi’  orang lain.    Mereka juga memakai aturan adat istiadat yang berlandaskan Taurat  untuk menghindari kewajiban yang harus dilakukan sehingga terjadi pengabaian terhadap apa yang penting dan malah menekankan apa yang hanya ‘produk sampingan’ Taurat.  Fokus mereka bukan lagi Tuhan namun nama baik mereka. Pengkultusan aturan dan individu Yesus menyayangkan sudut pandang Ahli Taurat dan orang Farisi yang  cenderung untuk lebih menghargai aturan hasil pengembangan manusia (walaupun mereka adalah para rabi yang dihormati) yang Yesus sebut dengan adat istiadat dibandingkan dengan Hukum Taurat yang diberikan Allah.  Adat istiadat lebih diperjuangkan dan bahkan dikultuskan daripada Hukum itu sendiri. Yesus sama sekali tidak menentang pelaksanaan adat istiadat karena Yesus juga melaksanakannya dalam keseharianNya.  Namun semikian Yesus  menginginkan semua itu dilaksanakan dengan wajar dan tidak menggantikan posisi Allah.  Yesus menginginkan adat istiadat dilaksanakan  sesuai dosisnya dan tidak membuat adat menjadi tuhan bagi mereka dan menjadi alat untuk menghakimi sesamanya. Yesus mengingatkan bahwa mengikuti aturan harus sampai ke hati, bukan hanya dilaksanakan secara lahiriah saja.  Saleh di luar namun  salah di hati. Saudaraku, jebakan kemunafikan dan pengkultusan aturan / dogma masih berlaku hingga sekarang.  Merasa bahwa sudah melaksanakan aturan dengan baik dan akhirnya mulai layak menilai sesama, namun ternyata Allah tidak mudah dibujuk dengan sikap  lahiriah karena Allah melihat hati manusia (1 Samuel 16:7).  Oleh karena itu kecaman Yesus menjadi peringatan untuk setiap orang percaya belajar mewaspadai pengkultusan aturan dan pengkultusan diri sendiri karena Yesus menginginkan integritas (keutuhan/ kelengkapan) dalam melaksanakan aturan yang tidak hanya dilakukan secara lahiriah namun dilaksanakan sampai ke dalam hati dan membuat manusia memanusiakan sesamanya.  Mari belajar untuk tulus sehingga aturan / dogma menjadi jembatan manusia mengenal Sang Kristus dan mengangkat sesamanya, bukan memisahkan atau menghancurkan hubungan antar manusia.  Aturan yang dibuat berdasarkan Firman Allah seharusnya membawa kebaikan bagi manusia.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

Abigail Heroism

MENJADI BIJAKSANA. Sahabat, orang yang bijaksana adalah mereka yang selalu berpikir dengan tenang dalam menghadapi segala permasalahan dan memiliki pandangan yang luas dalam menjalani hidup. Sikap bijaksana adalah sikap yang tepat dalam menyikapi setiap keadaan dan peristiwa sehingga memancarlah keadilan, serta kerendahan   dan kebeningan hati. Sering kita berpikir bahwa kebijaksanaan hanya bisa diperoleh orang yang sudah dewasa dan memiliki pengalaman hidup yang banyak, yang sudah banyak makan asam garam.  Namun, banyak fakta menunjukkan bahwa tidak semua orang dewasa merupakan orang yang bijaksana. Hal tersebut membuktikan bahwa pengalaman dan usia bukan jaminan seseorang menjadi bijaksana. Lalu, bagaimana untuk menumbuhkan kebijaksanaan? Pengamsal  memberi tiga langkah. Pertama, bersahabatlah dengan orang-orang yang bijaksana (Amsal 3:1). Kita bisa menimba pengetahuan dan pengalaman mereka. Kedua, jangan menganggap diri lebih pandai dan hebat daripada orang lain (Amsal 3:7). Prinsip ini terkait erat dengan prinsip pertama. Orang yang sombong pasti tidak mau mendengar dan menerima nasihat orang lain. Ketiga, milikilah keyakinan yang kuat pada kasih setia Tuhan atas kita (Amsal 3:3). Hal tersebut penting karena sering kali kita harus mengambil keputusan penting dalam situasi yang genting. Bila kita tidak percaya pada pemeliharaan Tuhan yang sempurna maka kita mudah dilanda kepanikan. Kita akan sulit mengambil keputusan yang bijaksana bila kita sedang panik. Sekali lagi, kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang sekejap ada dalam diri kita saat kita dilahirkan baru. Kita harus terus melatih dan mengembangkan kebijaksanaan. Mari kita mulai dengan mengambil keputusan yang bijaksana dalam perkara-perkara yang kecil sehingga kita lebih siap mengambil keputusan yang bijaksana dalam perkara-perkara yang lebih besar (Lukas 16:10). Hari ini kita akan melanjutkan belajar kitab 1 Samuel dengan topik: “Abigail Heroism (Kepahlawanan Abigail)”. Bacaan Sabda diambil dari 1 Samuel 25:2-44. Sahabat, secara sederhana, terdapat dua sikap manusia: Sikap bodoh dan sikap bijaksana. Sikap bodoh itu hanya berpikir pendek. Sikap bijak dapat melihat jauh ke depan, memperhitungkan segala sesuatu dan memilih yang terbaik. Orang bijaksana akan mampu meraih masa depan yang lebih baik. Nabal dan Abigail adalah sepasang suami istri yang kaya. Keduanya memiliki sikap hidup yang berbeda. Nabal disebutkan kasar dan jahat, sedangkan, Abigail bijaksana dan cantik (Ayat 3). Daud yang hidup dalam pelarian, membutuhkan dukungan bahan pangan. Ia meminta Nabal untuk memberikan dukungan (ayat 8). Salah satu alasan Daud bertindak demikian adalah selama ini domba milik Nabal dilindungi oleh para prajuritnya. Nabal menolak. Malahan, ia merendahkan Daud dengan mempertanyakan siapakah Daud (Ayat 10). Tindakan Nabal dimaknai oleh Daud  sebagai penghinaan (Ayat 14). Hal itu mengesalkan hati Daud. Daud memutuskan untuk membalas (Ayat 13). Tindakan Daud didengar oleh Abigail. Segera Abigail menyiapkan berbagai bahan makanan untuk diberikan kepada Daud (Ayat 18). Setelah berjumpa, ia bersujud di hadapan Daud dan meminta pengampunan (Ayat 24). Tindakan Abigail mengundang pujian dari Daud. Daud bahkan menyebut Abigail telah menolongnya untuk tidak menumpahkan darah orang tidak berdosa (Ayat 34). Sementara itu, Nabal hidup bersenang-senang dalam kemabukan. Ia seolah tidak peduli pada apa pun, termasuk masa depan (Ayat36). Nabal tewas terkena serangan jantung (Ayat 37). Setelah kematian Nabal, Daud mengingat kebijakan Abigail. Lalu, ia mempersunting Abigail menjadi istriya (Ayat 39). Sikap bijaksana Abigail membuahkan berkat. Ia tidak hanya selamat dari rencana serangan Daud, ia dipersunting Daud menjadi istrinya. Cara bijaksana membawa Abigail pada kehidupan yang lebih baik. Bukan hanya itu, kepahlawanan Abigail menyelamat banyak nyawa. Kepahlawanan Abigail telah menolong Daud untuk tidak bertindak membabi buta yang mengakibatkan pertumpahan darah. Sahabat, kita dituntut untuk bijaksana dalam merespons ragam peristiwa kehidupan. Menjadi bijaksana  membuat kita mampu menyongsong masa depan gemilang yang Allah telah sediakan. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 32-33? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Kebijaksanaan adalah ketrampilan yang harus selalu diasah. (pg).

KECAMAN YESUS

Saudaraku, manusia yang serius menjalani kehidupan beragama maka ia disebut orang saleh karena melaksanakan semua aturan dalam agama itu.  Tentunya hal itu baik,  namun bila mereka gagal menyeimbangkan diri maka yang terjadi adalah keterasingan dengan lingkungan sosialnya dan bahkan penghakiman kepada sesama.  Seumur hidup-Nya, Yesus benar-benar mengecam sikap seperti ini.   Mari kita merenungkan Markus 7:1-13. Protes keras para Farisi dan ahli Taurat terhadap beberapa murid Yesus yang dianggap melanggar adat istiadat membuat-Nya tergerak untuk menyatakan pendapat.  Bukan karena Ia mau membela “kesalahan” murid-Nya sendiri namun Yesus lebih ingin membuka mata para orang saleh itu tentang diri mereka sendiri.   Yesus mengecam : Kemunafikan dan egosentris bermodus agama. Yesus mengerti motivasi para Farisi dan ahli Taurat dalam melaksanakan Hukum.  Mereka ingin penghargaan dan merasa layak untuk menghakimi  orang lain.    Mereka juga memakai aturan adat istiadat yang berlandaskan Taurat  untuk menghindari kewajiban yang harus dilakukan sehingga terjadi pengabaian terhadap apa yang penting dan malah menekankan apa yang hanya “produk sampingan” Taurat.  Fokus mereka bukan lagi Tuhan namun nama baik mereka. Pengkultusan aturan dan individu Yesus menyayangkan sudut pandang Ahli Taurat dan orang Farisi yang  cenderung untuk lebih menghargai aturan hasil pengembangan manusia (walaupun mereka adalah para rabi yang dihormati) yang Yesus sebut dengan adat istiadat dibandingkan dengan Hukum Taurat yang diberikan Allah.  Adat istiadat lebih diperjuangkan dan bahkan dikultuskan daripada Hukum itu sendiri. Yesus sama sekali tidak menentang pelaksanaan adat istiadat karena Yesus juga melaksanakannya dalam keseharian-Nya.  Namun demikian Yesus  menginginkan semua itu dilaksanakan dengan wajar dan tidak menggantikan posisi Allah.  Yesus menginginkan adat istiadat dilaksanakan  sesuai dosisnya dan tidak membuat adat menjadi tuhan bagi mereka dan menjadi alat untuk menghakimi sesamanya. Yesus mengingatkan bahwa mengikuti aturan harus sampai ke hati, bukan hanya dilaksanakan secara lahiriah saja.  Saleh di luar namun juga  salah di hati. Saudaraku, jebakan kemunafikan dan pengkultusan aturan/dogma masih berlaku hingga sekarang.  Merasa bahwa sudah melaksanakan aturan dengan baik dan akhirnya mulai layak menilai sesama, namun ternyata Allah tidak mudah dibujuk dengan sikap  lahiriah karena Allah melihat hati manusia (1 Samuel 16:7).  Oleh karena itu kecaman Yesus menjadi peringatan untuk setiap orang percaya belajar mewaspadai pengkultusan aturan dan pengkultusan diri sendiri karena Yesus menginginkan integritas (keutuhan/kelengkapan) dalam melaksanakan aturan yang tidak hanya dilakukan secara lahiriah namun dilaksanakan sampai ke dalam hati dan membuat manusia memanusiakan sesamanya.  Mari belajar untuk tulus sehingga aturan/dogma menjadi jembatan manusia mengenal Sang Kristus dan mengangkat sesamanya, bukan memisahkan atau menghancurkan hubungan antar manusia.  Aturan yang dibuat berdasarkan Firman Allah seharusnya membawa kebaikan bagi manusia.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)