Learn to See the Heart
PENAMPILAN LUAR. Sahabat tentu masih ingat dengan satu ungkapan lama dalam bahasa Inggris: “Don’t judge a book by the cover”. Tapi naluri manusiawi kita berkata lain: Memandang seseorang yang berpakaian rapi, wangi, warnanya belum pudar, dan gaya yang tidak norak; tentu menjadi nilai plus tersendiri yang mampu memanjakan mata. Walaupun penampilan luar bukan segala-segalanya dan menjadi faktor penentu, bagaimanapun juga penampilan luar adalah hal pertama yang memberi kesan, berujung penilaian sementara terhadap orang lain. Terutama bagi orang yang baru ditemui atau memiliki peran penting. Lalu apa arti suatu penampilan luar? Penampilan luar (fisik) manusia adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penampilan luar manusia yang mudah diamati dan dinilai oleh manusia lain. Penampilan luar secara disadari atau tidak, dapat menimbulkan tanggapan tertentu dari orang lain. Sekalipun, dalam kenyataannya ada cukup banyak ahli yang tidak setuju jika penilaian akan seseorang didasarkan pada penampilan luarnya saja. Saat ini, penampilan luar yang menarik sudah dijadikan sebagai syarat tidak resmi di beberapa lapangan pekerjaan. Beberapa lapangan pekerjaan telah menuntut para pegawainya untuk berpakaian dan berpenampilan baik dalam menerima konsumen. Peran dari penampilan luar adalah untuk memberikan gambaran singkat akan diri orang tersebut. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab 1 Samuel dengan topik: “Learn to See the Heart (Belajarlah Melihat Hati)”. Bacaan Sabda diambil dari 1 Samuel 16:1-13. Sahabat, kita cenderung menilai seseorang berdasarkan penampilan luar dan lupa melihat ketulusan hati orang tersebut. Samuel berduka karena Saul telah ditolak oleh Allah sebagai raja atas Israel (Ayat 1) dan ia pun takut dibunuh oleh Saul ketika Allah memintanya untuk mencari seorang raja baru di antara anak-anak Isai (Ayat 1, 2). Dalam kesedihan Samuel, Allah memberikan petunjuk: Apa yang harus ia lakukan (Ayat 2-3). Samuel dengan patuh melakukan apa yang diperintahkan Allah. Sahabat, ia melakukan persembahan kurban untuk menguduskan serta mengundang Isai dan anak-anaknya datang ke upacara tersebut (Ayat 4-5). Ini merupakan awal proses pemilihan raja Israel yang baru di antara anak-anak Isai. Awalnya, Samuel berpikir Eliab, tetapi ternyata bukan. Kemudian tampil Abinadab, lalu Syama, sampai ketujuh anak Isai telah tampil di depan Samuel, namun semuanya bukan pilihan Allah (Ayat 6, 8, 9-10). Allah mengingatkan Samuel bahwa bukan yang dilihat manusia yang dilihat-Nya. ALLAH MELIHAT HATI, BUKAN PENAMPILAN LUAR (Ayat 7). Ternyata masih ada anak bungsu Isai yang belum dilihat Samuel. Si bungsu, Daud, bekerja sebagai gembala, ternyata yang dipilih Allah. Sejak itu, Roh Allah berkuasa di atasnya (Ayat 11-13). Samuel terkecoh oleh penampilan luar seseorang. Kita dapat mengelabui orang dengan sandiwara melalui penampilan luar kita, Namun sesungguhnya, hal tersebut menjadikan kita sebagai orang munafik semata. Kita harus ingat bahwa tidak seorang pun yang dapat mengelabui Allah. Allah melihat sampai ke relung hati kita yang terdalam sehingga tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Sahabat, mari kita tidak menilai saudara seiman secara kasatmata. Kiranya pada saat kita menilai seseorang, kita perlu mencari tahu isi hati orang tersebut. Mari kita juga memohon hikmat Allah untuk dapat menilai orang lain sesuai dengan apa yang Allah nyatakan kepada kita sehingga tidak terjadi perbedaan dalam menilai. Belajarlah melihat hati. Belajarlah melihat lebih dalam! MELIHAT HATI. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami tentang penampilan luar. Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Allah melihat dan memilih orang yang akan dipakai menjadi alat-Nya bukan dari fisik tetapi dari hatinya. (pg).
UJUNG PENA PAULUS
(Sebuah refleksi untuk senior, Pdm. Paul Gunawan, yang hari ini, 29 September 2023, berulang tahun) Saudaraku, Paulus merupakan penulis yang produktif pada masanya. Tulisannya berupa surat-surat tersebar untuk meretas jarak. Dalam suratnyalah Paulus menyampaikan rasa hati, refleksi dan sikapnya terhadap permasalahan dalam jemaat atau orang yang dia kasihi. Mari kita merenungkan salah satu tulisan Paulus yang terakhir, 2 Timotius 4:6-8, sebuah surat yang ditujukan kepada Timotiius, anak rohani yang dikasihinya. Paulus memang tidak membuahkan karya berupa buku atau jurnal, namun ia menuangkan padangan teologi dan refleksinya lewat SURAT. Surat-surat itu menjadi pegangan bagi jemaat dan pribadi yang dituju sebagai perwakilan kehadiran Paulus di situ. Begitu pentingnya tulisan surat Paulus bagi jemaat dan pribadi yang bergumul dan menghadapi masalah. UJUNG PENA Paulus berbicara, menyapa, menegur dan meluruskan jemaat yang sedang menghadapi masalah. Ujung pena itu juga menyapa dengan mesra pribadi-pribadi yang dikenalnya dengan dekat (Timotius, Filemon) dan bahkan memberikan nasihat yang dalam. Dari sekian banyak surat Paulus, ada beberapa yang dituliskan saat Paulus dalam penjara yaitu surat Efesus, Kolose, Filipi dan Filemon. Namun Surat 2 Timotius dituliskan justru saat Paulus berusaha mencari keadilan atas kasusnya dan mendapati bahwa perjuangannya akan gagal. Ujung pena Paulus berbicara dalam berbagai situasi hidupnya: Saat ia sehat dan kuat, saat ia bergumul dengan sakit yang menyiksa dan bahkan saat dalam penjara. Bahkan ketika hidup akan berakhir, ujung pena Paulus tetap berbicara meneguhkan Timotius dan mengingatkannya terhadap panggilan untuk melayani jemaat sampai akhir. Paulus menyadari bahwa di sisa waktunya, ia harus memanfaatkan waktu dengan baik dengan terus menuliskan surat yaitu untuk menyatakan iman percayanya dan perjuangannya mengikut Kristus. Ujung pena Paulus dipakai Tuhan untuk meneguhkan banyak orang. Melaluinya nama Tuhan dikenal oleh banyak orang dari generasi ke generasi. Bahkan saat semua tempat tujuan surat itu sudah hancur, tulisan Paulus menjadi referensi untuk orang Kristen masa kini mengenal Kristus dengan lengkap. Teologi Paulus melengkapi orang Kristen untuk merefleksi Kristus. Ujung pena Paulus mengukir wajah kekristenan seperti yang kita kenal sekarang. Menulis bisa menjadi berkat manakala tulisan itu memperkenalkan Sang Kristus dan perbuatan ajaib-Nya bagi sang penulis. Lewat tulisan, kisah perjuangan untuk tetap beriman kepada Allah menjadi hidup. Bahkan saat genting kehidupan, seperti yang dituliskan Paulus dalam perenungan kita, iman dihidupkan dengan tulisan. Menulis bukan tugas sederhana. Menulis adalah penginjilan, penyebaran kabar baik. Menuliskan tentang Kristus akan menghidupkan Kristus dalam pemikiran para pembacanya. Mari bersyukur untuk tulisan Rasul Paulus dan mari temukan Kristus melalui tulisan anak-anak Tuhan yang diberi karunia untuk melakukannya. Teruslah gigih membaca karena ada Kristus dalam setiap ujung pena orang yang takut akan Allah. Selamat ulang tahun Pak Paul. Teruslah menulis. Tuhan memberkati. (Ag)
PERUMPAMAAN: JEMBATAN DAN PEMISAH
Saudaraku, Yesus merupakan Guru yang populer. Ia bagaikan magnet bagi pendengarnya karena pengajaran-Nya lebih berkuasa daripada ahli Taurat (Markus 1:22). Injil Markus mencatat bahwa Yesus mengajar banyak hal dengan perumpamaan kepada masyarakat umum. Mari kita merenungkan Markus 4:1-2. Mengajar dengan perumpamaan merupakan metode yang lazim dilakukan oleh beberapa guru Yahudi untuk mengajarkan hal-hal yang sulit atau abstrak. Ada beberapa alasan mengapa Yesus menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan tentang Kerajaan Allah : Yesus ingin menjembatani konsep abstrak dengan realitas. Perumpamaan yang diambil Yesus berasal dari realitas keseharian masyarakat saat itu. Markus 4 bebicara tentang Konsep Kerajaan Allah yang rumit tapi penting akan lebih mudah dipahami dengan menggunakan perumpamaan yang melaluinya segala yang tersembunyi akan dapat dipahami (Matius 13:35). Merangsang kemampuan reflektif para murid seusai mendengarnya. Walaupun menjadi jembatan untuk menghubungkan para pendengar dengan materi pengajaran, tidak semua orang paham dengan apa yang dimaksud. Itulah sebabnya refleksi perumpamaan juga menjadi pemisah bagi mereka yang ingin memahami atau mereka yang mendengar dengan sambil lalu. Para murid justru mencari Yesus untuk mendapat pencerahan lebih lanjut (Markus 4:12). Perumpamaan memang menjembatani namun juga memisahkan. Ia menjembatani yang tersembunyi dan yang nyata, namun memisahkan pendengar yang reflektif dan tidak. Mereka yang reflektif akan diperkaya dan menemukan MUTIARA FIRMAN yang berharga, mereka yang tidak memikirkan lebih dalam hanya akan terpesona dengan CERITA namun gagal menemukan MAKNA. Perumpamaan membantu PENGAJAR dan PEMBELAJAR sehingga Kerajaan Allah dapat diperkenalkan, dipahami dan dihadirkan dalam realitas manusia. Ada banyak pengajaran yang berlalu lalang di sekitar kita dan seringkali pengajaran itu terlalu sulit dipahami dan terasa terbang di awang-awang sehingga memisahkan prinsip Firman dengan kehidupan sehari-hari. Ada juga pengajaran yang kelewat aplikatif sehingga bahkan dasar pijak Firman terlalu rapuh sehingga berpotensi menyimpang. Penting untuk menjembatani konsep abstrak Firman dengan kehidupan sesehari, juga untuk mengajak jemaat berpikir reflektif terhadap kebenaran Firman. Dengan refleksi dan berdialog dengan Firman, jemaat tidak hanya menikmati cerita perumpamaan itu namun juga memahami dengan sungguh-sungguh makna dan pesan Firman dibalik perumpamaan itu. Kiranya Tuhan mengaruniakan hikmat kepada para pengajar untuk menemukan jembatan yang mempertemukan Sang Firman dengan para pendengarnya serta membuat pendengar mendapatkan Sang Firman dengan refleksi dan perenungannya. Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)
The Foolish Conscience
HATI NURANI. Sahabat, dari Wikipedia saya mendapat informasi bahwa hati nurani adalah suatu proses kognitif yang menghasilkan perasaan dan pengaitan secara rasional berdasarkan pandangan moral atau sistem nilai seseorang. Hati nurani berbeda dengan emosi atau pikiran yang muncul akibat persepsi indrawi atau refleks secara langsung, seperti misalnya tanggapan sistem saraf simpatis. Dalam bahasa awam, hati nurani sering digambarkan sebagai sesuatu yang berujung pada perasaan menyesal ketika seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai moral mereka. Selanjutnya dari beberapa literatur saya mendapat informasi bahwa hati nurani atau suara hati berperan terutama saat kita mau mengambil sebuah keputusan. Ia dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran moral seseorang dalam situasi yang konkret. Artinya, dalam menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup, ada semacam suara dalam hati kita untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan dan menuntut kita bagaimana merespons kejadian tersebut. Hati nurani yang baik, dapat menjadi kompas moral dan menuntun kita menjadi pribadi yang berperilaku positif. Sebagai umat beragama, hati nurani ini dipercayai menjadi tempat Tuhan mewahyukan diri secara hidup dalam hati kita. Jadi, hati nurani juga dapat dikatakan sebagai sebuah perasaan moral dalam manusia, yang dengannya dia memutuskan mana yang baik dan jahat, dan mana yang menyetujui atau menyalahkan perbuatannya. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab 1 Samuel dengan topik: “The Foolish Conscience (Hati Nurani yang Bebal)”. Bacaan Sabda diambil dari 1 Samuel 15:1-35. Sahabat, kendati hati Saul memberontak kepada Tuhan, Tuhan masih berkenan kepada-Nya. Hukuman yang Tuhan jatuhkan adalah dinasti Saul tidak akan bertahan (1Samuel 12:14). Namun sejauh yang dicatat Alkitab, Saul tidak sedikit pun menunjukkan penyesalan. Ia terus mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama. Berbeda dengan Samuel yang hingga masa tuanya tetap hidup berintegritas sehingga bisa menjadi teladan bagi umat Israel, Saul tampaknya hanya mengandalkan jabatan dan kekuasaannya. Alih-alih menjadi pemimpin yang tegas bagi umat Israel agar sesuai kehendak Tuhan, Saul malah memilih menjadi pemimpin yang populis dan mengabaikan kehendak Tuhan demi disukai rakyatnya. Sahabat, dalam kehidupan sehari-hari kita juga seringkali dihadapkan pada pilihan untuk taat pada pimpinan Tuhan atau memilih keuntungan di depan mata. Jika Tuhan sudah mengubah hati kita, maka mengikuti tuntunan Tuhan akan menjadi sesuatu yang alami, bukan lagi pilihan. Bagi rakyat Israel, bacaan kita pada hari ini memaparkan dengan gamblang kondisi kerohanian mereka yang sesungguhnya. Kehidupan mereka telah menjadi hidup yang menomorsatukan keuntungan duniawi, sehingga tanpa berpikir panjang umat beramai-ramai mengabaikan perintah Tuhan dan menyimpan barang jarahan. Sahabat, kegagalan Saul menjalankan fungsinya sebagai raja yang seharusnya dengar-dengaran pada pimpinan Tuhan dan memimpin umat Tuhan untuk tetap taat kepada-Nya, telah menjadi sedemikian parah sehingga Tuhan menolaknya. Ketidakpekaan terhadap pimpinan Tuhan yang diteladankan oleh Saul telah merasuki sendi-sendi kehidupan umat Israel sehingga mereka tak lagi bisa mengenal apa yang benar dan apa yang salah. Samuel sebagai pemimpin yang hidup dekat Tuhan merasa sakit hati atas apa yang terjadi (Ayat 11). Sementara Saul, bahkan setelah ditolak oleh Tuhan, lebih mementingkan gengsinya di hadapan publik, alih-alih menunjukkan pertobatan yang sungguh (Ayat 30). Jika Tuhan menegur, baiklah kita peka. Jangan biarkan hati kita perlahan-lahan menjadi semakin kebal terhadap suara-Nya. Jangan sampai hati nurani kita menjadi bebal. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 22-24? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Hendaknya kita menyadari bahwa kesombongan merupakan dosa besar yang membuat telinga hati kita menjadi tuli sehingga tidak bisa mendengar suara Allah. (pg).
The Impulsive Saul
IMPULSIF. Pagi itu saya dikejutkan oleh seorang teman dalam grup WA yang saya ikuti. Secara tiba-tiba dia menyatakan keluar dari grup WA tanpa sebuah alasan yang jelas, namun tiba-tiba dia juga ingin kembali bergabung dengan grup WA tersebut. Seorang psikiatri yang juga menjadi anggota grup WA tersebut berkomentar: “Dia mulai terkena sindrom Impulsif” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti impulsif adalah bersifat cepat bertindak secara tiba-tiba mengikuti gerak hati. Impulsif adalah sebuah perilaku yang ditandai ketika seseorang melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya dan dilakukan secara berulang-ulang. Biasanya seseorang dengan perilaku impulsif merasa perlu untuk melakukannya demi memperbaiki perasaannya meski hanya sementara. Perilaku impulsif bisa muncul karena seseorang tersebut memiliki tekanan atau ketegangan yang sudah lama dipendam sehingga ia perlu meluapkan dengan tindakan yang terbesit di dalam pikirannya. Namun, beberapa orang yang memiliki sifat impulsif ini juga merasa perasaan bersalah atau malu setelah melakukan tindakan yang mereka lakukan. Sifat impulsif ini juga bisa terjadi saat seseorang menggunakan uang. Beberapa orang menghabiskan uang tanpa berpikir panjang untuk sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Bahkan kadang mereka ingin berbelanja hanya karena penat atau stres sehingga mereka hanya ingin berbelanja untuk membuat perasaan mereka lega. Tidak jarang beberapa orang seperti itu kemudian akan berakhir dengan tunggakan hutang dan tagihan karena mereka tidak pernah memikirkan akibatnya saat melakukan tindakan impulsif. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab 1 Samuel dengan topik: “The Impulsive Saul (Saul yang impulsif)”. Bacaan Sabda diambil dari 1 Samuel 14:24-52. Sahabat, dalam rentang yang singkat, bertubi-tubi kita disodori kisah Saul yang gegabah dan IMPULSIF. Saul bukan lagi sosok yang ketika muda menjadi pengharapan umat dan yang merasa diri tidak layak di hadapan Tuhan. Kini Saul merasa diri seorang raja yang layak dan Tuhan hanya sebagai pelengkap yang sewaktu-waktu bisa dipakai atau diabaikan tergantung suasana. Sikap Saul yang merasa dirinya semakin penting ternyata membuat kelemahannya menjadi terpaparkan kepada publik. Di tengah pertempuran, dengan gegabah ia membuat sumpah konyol: Rakyat disuruh bersumpah untuk berpuasa justru ketika peperangan menuntut stamina dan kesegaran. Motifnya pun sangat pribadi: “… sebelum aku membalas dendam terhadap musuhku” (Ayat 24). Bukan kepentingan Tuhan dan apa yang Tuhan sukai yang menjadi kriteria berpikir Saul, melainkan dirinya sendiri yang menjadi tolok ukur dalam pengambilan keputusan. Sahabat, mulai ayat 36, sekali lagi Saul menunjukkan sikap IMPULSIFNYA hingga ia sampai perlu diingatkan untuk memohon perkenan Tuhan atas rencananya (Ayat 36). Ketika Tuhan tidak menjawab, segera pedang menjadi alternatif bagi Saul. Ia tak segan membuat keputusan untuk membunuh Yonatan karena janji yang dibuatnya secara gegabah tersebut (Ayat 44). Rakyat kemudian membela Yonatan dengan bersumpah kepada Tuhan untuk menganulir sumpah Saul sebelumnya yang mengawur (Ayat 39). Umat yang mengidam-idamkan seorang raja yang kuat untuk menjadi hakim atas diri mereka kini pada akhirnya harus mengintervensi sang raja dengan akal sehat mereka. Umat yang seharusnya dipimpin malah bisa melihat pimpinan dan kepentingan Tuhan dengan lebih jelas daripada raja yang seharusnya menjadi pemimpin mereka dalam mengenali dan menaati kehendak Tuhan. Sahabat, mari kita mendoakan para pemimpin kita, agar mereka menjalankan fungsi mereka dengan takut akan Tuhan, dan bukan dengan motivasi kepentingan diri. Kalau Sahabat saat ini menjadi seorang pemimpin, jadilah pemimpin yang dipandu oleh hikmat Tuhan, bukan mengandalkan impuls kedaginganmu. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan Apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami tentang ayat 24? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Tidak ada hal baik yang dihasilkan dari perkataan kita yang buruk. Karena itu dalam situasi yang tersulit sekalipun, belajarlah untuk mengendalikan hati dan perkataan kita. (pg).
God Behind The Story
KEBETULAN. Kata kebetulan adalah kata yang terkadang kita ucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata kebetulan sendiri menunjuk pada sesuatu yang tiba-tiba terjadi tanpa ada rencana di dalamnya. Namun, sebenarnya tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Alkitab tidak pernah mencatat peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Bahkan hidup kita sebenarnya sudah ditata oleh Tuhan dan masuk dalam rencana-Nya. Tidak ada yang kebetulan di dalam hidup ini, karena Allah berdaulat atas kehidupan manusia. Jika sesuatu terjadi, diluar keputusan dan pilihan kita, hal itu menunjukkan ada rencana dan tangan Tuhan di atasnya (Roma 8 : 28). Kebetulan adalah realitas yang terjadi dan disadari, namun tidak disadari kedatanganya. Kebetulan bisa jadi bermakna dan tidak bermakna tergantung situasi apa yang terjadi pada individu. Kebetulan yang sejalan dengan harapan akan menumbuhkan energi positif bagi individu yang mengalaminya. Namun, apabila kebetulan itu tak sejalan bahkan bertentangan dengan harapan akan menjadi konflik bagi individu yang mengalami bahkan orang lain pun bisa terkena imbas dari energi negatif yang dihasilkan oleh individu tersebut. Karena kebetulan sebagai realitas yang tidak direncanakan, maka cukup banyak orang yang meyakini bahwasanya kebetulan merupakan jalan hidup yang telah digariskan oleh Tuhan dan akhirnya menentukan kehidupan selanjutnya. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab 1 Samuel dengan topik: “God Behind the Story (Tuhan Dibalik Kisah)”. Bacaan Sabda diambil dari 1 Samuel 9:1-10:16 dengan penekanan pada 1 Samuel 9:15-16. Sahabat, hidup itu misteri, tidak mudah ditebak. Namun satu hal yang pasti, Allah berkuasa memerintah dan menata segala sesuatu. Sesungguhnya tidak ada kebetulan dalam hidup ini karena Allah bekerja dalam segala sesuatu. Kisah Saul yang diurapi oleh Samuel memberitahukan bahwa hidup ini tidak kebetulan. Kisah, ayah Saul, kehilangan keledai-keledai betinanya. Ia kemudian menyuruh Saul mengajak seorang bujangnya untuk mencari keledai-keledai tersebut. Di tengah jalan, Si Bujang mempunyai ide untuk menanyakan kehilangan mereka itu kepada Samuel. Akhirnya, mereka bertemu dengan Samuel, lalu Samuel mengurapi Saul menjadi raja. Sahabat, sebelum mengurapi Saul, Samuel menceritakan petunjuk Allah tentang siapa yang harus ia urapi. 1 Samuel 9:15-18 jelas menunjukkan bahwa peristiwa kehilangan keledai dan kisah perintah kepada Saul untuk mencari keledainya bukanlah hal yang kebetulan. Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk menggenapi rencana-Nya, dan rencana Allah pasti mendatangkan kebaikan bagi umat-Nya. Memang, kadang rencana Allah dapat tampak seolah kebetulan. Untuk menyadari dan mengetahui semua itu, dibutuhkan relasi yang dekat dengan-Nya dan kepekaan. Samuel selalu hidup dekat dengan Allah. Ia mempunyai kepekaan dan hikmat dalam mendengarkan suara-Nya. Sedari muda, Samuel sudah melatih telinganya untuk peka terhadap firman Allah. Allah senantiasa memberi petunjuk kepadanya. Sahabat, di tengah zaman yang penuh hiruk pikuk dan tantangan ini, kita diajak untuk peka terhadap apa yang terjadi. Allah ingin kita senantiasa berdialog dengan-Nya dan merenungkan: “Apa kehendak Allah atas segala peristiwa yang sedang kita hadapi.” Satu hal yang pasti, dalam segala keadaan, Allah hendak mendatangkan kebaikan bagi setiap orang yang mengasihi-Nya. Ia ingin menyatakan kasih-Nya bagi kita semua, baik melalui peristiwa yang baik maupun yang tampaknya menyakitkan. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari 1 Samuel 9:15-16? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Tuhan mengatur jalan hidup kita! Di balik perjumpaan kita dengan sesama, Ia sedang berkarya untuk mengubah hidup kita. (pg).