Admitting Mistake is a Great Courage

MENGAKUI KESALAHAN. Sahabat, ada cukup banyak orang berani melakukan kesalahan, namun hanya sedikit yang berani mengakui kesalahan. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, manusia lebih cenderung tidak mau mengakui kesalahannya, malah cenderung menyalahkan orang dan pihak lain. Ketika Adam melakukan Kesalahan, justru ia menyalahkan Tuhan dan Hawa. Ketika Kain membunuh Habel adiknya, Firman Tuhan kepada Kain: “Di mana Habel, adikmu itu?” Jawabnya: “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (Kejadian 4:9) Rasul Paulus kepada jemaat di Roma mengatakan, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak”  (Roma 3:10).  Nobody’s perfect!  Tidak  ada gading yang tak retak.  Tak seorang pun luput atau kebal terhadap kesalahan.  Sehebat bagaimanapun seseorang, pastilah pernah melakukan kesalahan.  Yang membedakan adalah:  Tidak semua orang mau mengakui kesalahan.  Kalau kita mau jujur,  mengakui kesalahan bukanlah hal yang mudah dilakukan dan memerlukan keterbukaan serta kerendahan hati.  Karena gengsi, takut ditolak atau dianggap rendah, seringkali orang tidak berani mengakui kesalahannya, malah berusaha menutupinya.  Yang berjiwa besar pasti mau mengakui kesalahannya walaupun dibutuhkan suatu keberanian! Keberanian untuk bersikap kesatria. Sikap kesatria mengakui kesalahan adalah pangkal proses penyelesaian masalah serta perbaikan diri sehingga di masa yang akan datang seseorang yang pernah berani mengakui kesalahan dan menerima  konsekuensi akan takut melakukan kesalahan yang sama dan lainnya. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan topik: “Admitting Mistake is A Great Courage (Mengakui Kesalahan adalah Sebuah Keberanian Besar)”. Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 20:1-48. Sahabat, bacaan kita pada hari ini menunjukkan perang saudara antara orang Israel dengan orang Benyamin. Bisa dikatakan penyebabnya adalah adanya dua pihak yang telah melakukan kesalahan, namun mereka tidak menyadarinya. Kesalahan pertama adalah orang Lewi yang memotong jenazah gundiknya menjadi 12 bagian dan mengirimkannya kepada tiap suku Israel (Hakim-Hakim 19:29). Orang Lewi ini tidak melaporkan kejadian yang sesungguhnya. Pasalnya, ia sendiri yang menyerahkannya untuk dipakai banyak orang. Kesalahan kedua datang dari orang Benyamin. Mereka tidak mau mengakui bahwa ada orang-orang dursila dari sukunya yang telah berbuat kejahatan (ayat 13). Sahabat, mengakui kesalahan adalah sebuah keberanian besar. Andaikan orang Lewi itu berani mengatakan kebenaran dan orang Benyamin juga mau mengakui kesalahan, perang saudara ini tidak akan terjadi. Akibat dari kesalahan itu, banyak sekali orang yang terbunuh dari kedua belah pihak. Cara hidup orang-orang pada masa itu sudah begitu bobrok dan tidak lagi melibatkan Tuhan. Dampaknya, semua orang merasa diri sebagai orang yang benar. Bagaimana dengan kita pada saat ini? Bagaimana reaksi kita saat melakukan kesalahan? Apakah kita mau mengakuinya? Pengakuan itu adalah bentuk penerimaan bahwa kita adalah manusia lemah dan sering melakukan kesalahan. Selain itu, kita juga harus terus bersandar dan bertanya kepada Allah mengenai kehidupan kita. Sebab, Allah adalah sumber dan standar kebenaran. Jadi, untuk mengetahui salah atau benarnya suatu tindakan, kita harus berkaca pada Sang Sumber Kebenaran melalui firman-Nya. Sahabat, dengan sujud menyembah kepada-Nya, mari kita memohon bimbingan Tuhan agar terus mengarahkan hidup kepada firman-Nya sebagai sumber kebenaran. Cara hidup yang bobrok tidak perlu ditiru. Kita mesti punya filter. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari Roma 3:10? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Bila kita tidak segera menyadari kesalahan dan bangkit, pemulihan takkan pernah terjadi dalam hidup kita. (pg). 

Without God, Man Perishes

BINASA. Sahabat, ada cukup banyak orang  memahami kata binasa dalam arti  lenyap, hilang, musnah, atau meninggal dunia. Itu pengertian yang sangat terbatas. Pengertian itu sangat sempit dan dangkal sehingga belum mewakili keadaan yang sebenarnya dari kebinasaan itu sendiri. Sesungguhnya kata binasa menunjukkan keadaan yang sangat mengerikan atau keadaan paling mengerikan yang dapat dialami oleh manusia. Keadaan itu sebenarnya tidak bisa digambarkan dengan cara apa pun atau dengan kalimat bagaimanapun Kata binasa sebenarnya berarti tidak memiliki nilai sama sekali. Itu adalah keadaan seseorang yang tidak berarti atau tidak memiliki nilai sama sekali. Bagaimana seorang manusia dapat dikatakan tidak bernilai? Yaitu kalau seseorang terpisah dari Allah dan tidak mendapat kesempatan lagi untuk diperdamaikan dengan Allah. Kebinasaan atau binasa adalah keadaan  seseorang tidak mendapat kesempatan lagi untuk diperdamaikan dengan Allah, ini berarti terpisah dari hadirat Allah, atau terhilang dari hadirat Allah selamanya. Itu adalah kedahsyatan yang luar biasa, keadaan yang tidak terbayangkan, kedahsyatan yang tidak bisa dikira-kira dengan pikiran manusia hari ini. Betapa dahsyat dan mengerikan keadaan itu. Tetapi fakta ironis yang kita lihat dan kita temukan hari ini, ada cukup banyak orang tidak takut terhadap realitas tersebut. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan tema: “Without God, Man Perishes (Tanpa Tuhan, Manusia Binasa)”. Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 19:1-30. Sahabat, bacaan kita pada hari ini memperlihatkan kemerosotan moral yang luar biasa yang terjadi karena bangsa Israel telah meninggalkan Tuhan. Kemerosotan moral tersebut memiliki kemiripan dengan kemerosotan moral di kota Sodom pada zaman Lot. Perhatikan bahwa perkataan “kami pakai” di kedua bagian Alkitab berikut menunjuk kepada hubungan homoseksual (Hakim-hakim 19:22, Kejadian 19:5). Dalam kedua teks Alkitab tersebut, tuan rumah menawarkan anak perempuan mereka untuk diperkosa sebagai pengganti tamu laki-laki (Hakim-hakim 19:24, Kejadian 19:8). Hal itu menunjukkan penghargaan yang sangat rendah terhadap kaum perempuan. Sungguh keterlaluan bahwa tamu laki-laki dianggap lebih berharga daripada anak perempuan! Dalam bacaan kita pada hari ini, Si Orang Lewi  mencoba menghindari Yebus karena ia berpikir orang-orang Yebus tidak mengenal Tuhan. Maka, walaupun hari sudah malam, ia tetap meneruskan perjalanan dan akhirnya tiba di Gibea Benyamin. Ia mengira lebih aman menginap di antara sesama orang yang beribadah kepada Tuhan. Namun ia salah duga. Tidak ada orang Benyamin yang menawarinya tempat bermalam. Mereka malah berlaku seperti orang Sodom yang hendak memperkosa laki-laki malang itu. Rupanya sebagian orang Israel mengadopsi gaya hidup bangsa-bangsa yang tidak kenal Allah. Sikap Si Orang Lewi terhadap gundiknya juga amat keterlaluan. Gundiknya itu dia ambil dari rumah orang tuanya. Akan tetapi, saat menghadapi bahaya, ia menangkap gundiknya, lalu menyerahkan gundiknya pada orang-orang dursila untuk diperkosa, sedangkan dia sendiri bisa tidur nyenyak sehingga tidak sadar saat gundiknya kembali dan kemudian tergeletak dalam keadaan tewas di depan pintu rumah (Ayat 26-27). Sahabat, kita lihat bahwa tanpa kehadiran Tuhan, manusia benar-benar tak punya harapan. Setelah puluhan tahun mengalami periode gemilang di bawah pimpinan Musa dan Yosua, sekejap ditinggalkan pemimpinnya bangsa Israel langsung jatuh ke dalam keterpurukan sehingga tak ada bedanya dari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Kita perlu menyadari bahwa bila manusia, dibiarkan sendirian, tidak akan tiba kepada Allah. Tanpa Tuhan, manusia binasa. Karena itulah Kristus harus datang dan menebus kita supaya akhirnya kita memiliki jalan agar tiba pada keselamatan yang dari Allah. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari kata binasa? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Ketaatan kepada Tuhan menuntut kita menyangkali diri setiap hari, menyalibkan hawa nafsu kedagingan dan memiliki penyerahan diri total kepada Tuhan. (pg).

PILIHAN PILATUS

Saudaraku, saat paskah tiba maka nama Pilatus menempati urutan tokoh antagonis kisah Paskah.  Banyak pihak menyayangkan kepengecutan Pilatus. Namun mari berpikir lagi:  Mengapa Pilatus mencuci tangan terhadap kasus Yesus?  Mari kita merenungkan Matius 27:1,2,11-26. Pilatus merupakan politisi yang berpengalaman. Ia tahu bahwa Yesus adalah korban kebencian para rohaniwan Yahudi (Matius 27:18).  Pilatus juga tahu bahwa orang Yahudi sangat sensitif dengan agamanya dan bersikap agresif terhadap tindakan yang digolongkan penistaan agama.  Pilatus memang bukan politisi bersih dan ia sebenarnya enggan terlibat dengan kasus-kasus orang Yahudi.  Pendekatan kekerasan sering dipakainya untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pemerintahan Romawi di  Yudea.  Namun Pilatus melihat bahwa Yesus adalah korban kebencian orang Yahudi dan ia ingin membebaskannya.  Inilah yang mengherankan.  Pilatus menerima pesan dari istrinya tentang Yesus dan ini menunjukkan bahwa bagi Pilatus yang korup dan kotor dalam politik pun, sebenarnya Allah membuka kebenaran di depan matanya.  Posisinya menjadi kunci pengungkapan kebenaran dan pembebasan korban konspirasi pemimpin Yahudi.  Namun sayang Pilatus memilih tidak ikut campur dengan situasi kritis itu dengan pertimbangan: Keamanan posisi di hadapan Kaisar. Situasi saat itu sudah kacau dan mulai mengarah pada kerusuhan.  Walaupun Pilatus sudah memberikan pilihan yang sangat kontras antara Yesus dan Barabas, massa lebih memilih Barabas dibanding Yesus.  Laporan kinerja Pilatus sudah merah di hadapan Kaisar, maka ia tidak ingin kasus ini menggeser posisinya sebagai pejabat di Yudea.  Istrinya sendiri juga menyuruhnya lepas tangan untuk mengamankan posisinya. Untuk menjaga situasi kondusif, ia melepaskan Yesus kepada massa. Merasa sudah memperingatkan orang Yahudi Pilihan untuk membebaskan Barabas atau Yesus adalah upayanya untuk menyatakan sikap.  Ia merasa hanya mampu berjuang sampai di titik itu.  Ia enggan memperjuangkan Yesus lebih serius karena kondisi yang genting, walau ia tahu kebenaran kasus ini.   Saudaraku, Pilatus bukan pengecut.  Ia hanya seorang yang lebih mementingkan kepentingan dirinya sehingga kurang gigih berusaha memperjuangkan kebenaran.  Peristiwa pencucian tangan tidak hanya menunjukkan rasa putus asa, namun juga rasa tidak berdaya menghadapi kekuatan massa.  Pilatus masih bisa menyelamatkan Yesus seandainya ia merespons kebenaran, namun ia memilih menyelamatkan posisinya.  Itulah pilihannya. Kadangkala orang Kristen dihadapkan pada pilihan yang sulit yang menyangkut orang lain.  Rasul Paulus mengatakan: “Sedapat-dapatnya kalau hal itu tergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18).  Perdamaian perlu diusahakan bukan hanya ditunggu.  Ketika menjadi posisi kunci, orang Kristen perlu berjuang untuk menjadi pembawa damai.  Berjuang dengan gigih, walau harus menanggung perih.  Diletakkan dalam posisi kunci memang berat tak terkira, namun keberanian untuk mengambil keputusan sesuai Firman Tuhan dengan segala konsekuensinya, akan menjadi jawaban doa bagi seseorang.  Mari berjuang dengan gigih dan belajar memberanikan diri menanggung konsekuensi menjadi pelaku Firman Tuhan.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

The Danger of the Pragmatism Idols

PRAGMATISME. Sahabat, istilah pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata pragma. Kata ini memiliki banyak arti antara lain: Fakta, benda, materi, sesuatu yang dibuat, kegiatan, tindakan, akibat atau pekerjaan. Dari kumpulan arti tersebut, pragmatisme diberi pengertian sebagai pemikiran yang mengutamakan fungsi gagasan di dalam tindakan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pragmatisme berarti:  1. kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan sebagainya), bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia;  2. Paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus;  3. Pandangan yang memberi penjelasan yang berguna tentang suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis. Pragmatisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa pemikiran itu mengikuti sebuah tindakan seseorang. Secara istilah, pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah sesuatu itu mempunyai kegunaan bagi kehidupan nyata, dan patokannya prgamatise ialah manfaat bagi kehidupan praktis. Sahabat, pragmatisme merupakan sifat atau ciri seseorang yang cenderung berfikir praktis, sempit dan instan. Orang yang mempunyai sifat pragmatis  menginginkan segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diharapkan  segera tercapai tanpa mau berpikir panjang dan tanpa melalui proses yang lama, sehingga kadang hasilnya itu meleset dari tujuan semula. Biasanya sifat itu identik dengan orang yang kurang penyabar dan ambisius. Biasanya orang yang ambisius  selalu melakukan sesuatu atau melakukan perubahan secara cepat, maka tidak heran kalau orang seperti itu mempunyai keinginan yang kuat dan tidak mau dikalahkan oleh orang lain. Sayangnya,  sifat ambisius itu cenderung bersifat ke hal yang negatif, mereka melakukan segala macam cara untuk mencapai keinginannya. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan topik: “The Dangers of Pragmatism Idols (Bahaya Berhala Pragmatisme)”. Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 18:1-31. Sahabat, saat ini dunia menuntut kita untuk melihat segala sesuatu dari perspektif untung  atau rugi. Bahkan tidak jarang dalam mengikut Tuhan pun, kita menghitung-hitung kembali,  apa keuntungan dan kerugiannya. Hal ini jugalah yang terjadi pada orang Lewi dalam bacaan kita pada hari ini. Orang Lewi ini adalah imam bagi Mikha, seorang penyembah berhala (Hakim-Hakim 17:12). Dengan berani ia mengatasnamakan Allah dalam menyampaikan nubuat kepada bani Dan. Padahal, Allah tidak menyatakan apa pun kepadanya. Kemudian dalam perjalanan keimamannya, orang suku Dan menawarkan kepadanya untuk menjadi imam bagi mereka serta menjadi kaum di antara orang Israel. Orang Lewi ini menyetujuinya karena tawarannya sangat menguntungkan (Ayat 19-20). Ia pun meninggalkan Mikha dan membawa jarahan efod, terarium, dan patung pahatan milik Mikha serta mengikut suku Dan. Sahabat, orang Lewi, yang seharusnya menjadi imam bagi umat Tuhan dan melayani Allah, terjebak dalam mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Akhirnya, segala pekerjaannya menjadi sia-sia karena orang Lewi tersebut tidak menjadi imam yang sah bagi suku Dan. Karena itu, Yonatan bin Gersom bin Musa ditunjuk untuk mengisi jabatan tersebut. Orang percaya pada masa kini juga tak jarang bertindak seperti orang Lewi dalam bacaan kita pada hari ini. Ada cukup banyak orang percaya datang ke gereja hanya karena menginginkan berkat Tuhan. Selama menguntungkan, mereka mau pergi ke gereja. Namun, begitu risiko kerugian muncul, mereka menghilang dari gereja. Tidak jarang pula orang percaya melayani hanya untuk aktualisasi diri dan popularitas. Sahabat, mengikut Tuhan membuat kita harus menyangkal diri dan tidak melihat kepercayaan kepada Tuhan dalam kacamata untung  atau rugi. Kita harus menjadi orang percaya yang percaya kepada-Nya secara tulus. Bagi kita, Ia adalah satu-satunya Allah serta pusat pelayanan kita. Mari kita jauhkan motivasi untung atau rugi dari hati kita, sehingga ibadah dan pelayanan kita murni di hadapan-Nya. Kita mesti bersabar pada saat menapaki jalan mulia dan kudus. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami tentang pragmatisme? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Kita harus mewaspadai diri kita sendiri. Janganlah kita melayani hanya untuk keuntungan diri, melainkan agar pekerjaan dan kuasa Tuhan dinyatakan di dalam kita. (pg).

A Leader’s Presence is Needed!

PEMIMPIN. Seorang pendeta, pembicara, penulis dan pakar kepemimpinan dari Amerika, John C. Maxwell berkata bahwa segala sesuatu, naik dan turun berdasarkan kepemimpinan. Kehadiran seorang pemimpin mutlak diperlukan dalam segala aspek kehidupan. Firman Tuhan berkata bahwa tanpa pimpinan, sebuah bangsa akan jatuh. Tanpa pemimpin, kita bisa berjalan tanpa arah, bisa bebas berbuat sesuai kehendak masing-masing, dan besar kemungkinan perpecahan terjadi. Apabila perpecahan terjadi, tidak ada kemajuan yang bisa dicapai (Amsal 11:14). Karena itu, kita patut bersyukur bila Tuhan menghadirkan seorang pemimpin baik dalam konteks negara, gereja, usaha, atau keluarga kita. Namun ingatlah, pasti tidak ada pemimpin yang sempurna. Bukankah kita gampang menemukan celah kekurangan seseorang ketimbang kelebihannya? Karena itu, sebaiknya  kita jangan banyak memberikan kritik kepada pemimpin, bila tidak memberikan dukungan yang cukup diperlukannya. Jangan pula karena didorong rasa tidak puas, kita cepat-cepat mengganti dengan pemimpin yang baru. Kita perlu menyadari bahwa pemimpin yang baru pun belum tentu lebih baik daripada yang ada sekarang. Kalimat bijak berkata: Rumput bisa hijau, karena disirami. Pemimpin yang Tuhan berikan kepada kita akan berhasil bila kita secara aktif memberikan dukungan positif. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan topik: “A Leader’s Presence is Needed! (Kehadiran Seorang Pemimpin itu Dibutuhkan!)”. Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 17:1-13 dengan penekanan pada ayat 6. Sahabat, Hakim-Hakim pasal 17 sd. Pasal 21  tidak lagi berbicara tentang para hakim-hakim melainkan tentang kemurtadan rohani yang terjadi pada masa itu dan efeknya pada bangsa Israel. Maksud kisah ini dituliskan adalah agar orang beroleh gambaran tentang betapa rendah standar moral waktu itu. Dikisahkan, Mikha mencuri uang ibunya sejumlah seribu seratus uang perak. Uang sebesar itu dapat menghidupi orang seumur hidup di Israel (bdk.ayat 10). Dikemudian hari, Mikha mengakui perbuatannya dan mengembalikan uang itu kepada ibunya. Mungkin karena ia takut kutukan ibunya (Ayat 2). Bagaimana reaksi ibunya? Ibunya justru memberkati dia. Suatu reaksi yang tidak biasa mengingat jumlah uang yang dicuri. Mungkin Si Ibu berpikir bahwa berkat itu dapat membatalkan kutuk yang telah dia ucapkan. Lalu Si Ibu bermaksud mempersembahkan uang itu kepada Tuhan. Namun yang jadi diberikan berjumlah dua ratus uang perak. Itu pun digunakan untuk membuat patung. Padahal sebelumnya ia berjanji memberikan semuanya. Perhatikanlah, Si Ibu mencuri uang dari Tuhan dan anaknya mencuri uang dari ibunya. Mungkin Mikha mempelajari dosa itu dari orang tuanya. Dosa berikutnya, mereka mengabaikan hukum Allah berkaitan dengan pembuatan patung pahatan (Keluaran  20:4, 23). Mereka melupakan pengalaman Israel yang tragis berkaitan dengan patung lembu emas di gunung Sinai (Keluaran  32:19-35). Lalu Mikha meminta seorang Lewi untuk menjadi imam di kuil yang dia buat (Ayat 5). Tampaknya ia ingin melegitimasi perbuatannya (Ayat 13). Padahal orang Lewi seharusnya tinggal di tempat yang Allah sudah tetapkan dan mendapat penghasilan sesuai dengan pengaturan Allah, bukan dari bayaran orang. Sahabat, benarlah apa yang dikatakan di ayat 6 bahwa pada masa itu “setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” Hal tersebut terjadi karena ketidak hadiran seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang dapat memberi tuntunan berdasarkan firman Tuhan. Memang, bila tidak ada seorang pemimpin dan firman Tuhan tidak menjadi pedoman maka hidup dan tatanannya dapat menjadi kacau. Maka kehadiran seorang pemimpin yang berpegang pada firman adalah keharusan bila kita ingin hidup kita beres menurut Tuhan. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari Keluaran 20:4 dan 23? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Seorang pemimpin akan berhasil bila mau berubah semakin baik dan mendapat dukungan positif. (pg).