The Difference between Jepthah and Abimelech

PERBEDAAN. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perbedaan itu berarti selisih, juga   perihal yang berbeda atau  perihal yang membuat berbeda.  Sedangkan perbedaan yang akan kita bicarakan dalam renungan kita pada hari ini  adalah hal yang menunjukkan bahwa orang yang satu memiliki sifat yang tidak sama dengan orang yang lainnya. Perbedaan merupakan ketidak samaan sifat, bentuk atau karakter yang dimiliki oleh beberapa orang. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan topik: “The Difference between Jepthah and Abimelech (Perbedaan antara Yefta dengan Abimelekh). Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 11:1-11. Sahabat, ketika membaca kisah tentang Abimelekh, kita akan melihat kisah seorang anak dari Gideon yang lahir dari seorang gundik yang berasal dari Sikhem. Perilakunya sangat jahat sehingga ia tega membunuh saudara-saudara tirinya demi menggapai kekuasaan. Sedangkan bacaan kita pada hari ini bercerita  tentang Yefta. Ia seorang anak dari perempuan sundal. Ia mengalami penolakan dua lapis. yaitu dari saudara-saudara yang tidak seibu dan lingkungan tempat kelahirannya. Ia dikenal sebagai seorang pahlawan yang gagah perkasa. Sekalipun sudah diusir, di kemudian hari ia diminta menjadi panglima perang bagi penduduk Gilead untuk melawan bani Amon. Apa perbedaan antara Yefta dengan Abimelekh? Yefta diberi kekuasaan tanpa harus merebutnya dari orang-orang yang sudah menolak dan mengusirnya. Yefta tidak perlu membunuh saudara-saudaranya agar mendapatkan kekuasaan atas Gilead. Cara Yefta menghadapi konflik sangat bijak. Penulis kitab Hakim-Hakim mencatat: “… Yefta membawa seluruh perkaranya itu ke hadapan TUHAN, di Mizpa” (Ayat 11). Penulis surat Ibrani mencatat bahwa Yefta merupakan  salah seorang saksi iman seperti tertulis:  “Dan apakah lagi yang harus aku sebut?  Sebab aku akan kekurangan waktu, apabila aku hendak menceriterakan tentang Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud dan Samuel dan para nabi, yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa yang dijanjikan, menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat.”  (Ibrani 11:32-34a). Sedangkan penulis kitab Hakim-Hakim menulis tentang kematian Abimelekh seperti berikut: “ … seorang perempuan menimpakan sebuah batu kilangan kepada kepala Abimelekh dan memecahkan batu kepalanya. Dengan segera dipanggilnya bujang pembawa senjatanya dan berkata kepadanya: ‘Hunuslah pedangmu dan bunuhlah aku, supaya jangan orang berkata tentang aku: Seorang perempuan membunuh dia.’ Lalu bujangnya itu menikam dia, sehingga mati.” Sahabat, Yefta bukanlah seorang yang mengandalkan kekuatannya. Ia juga tidak membutuhkan pengakuan atas kemampuannya. Ia tidak menjadi pemimpin karena keluarga, suku, atau kelompoknya sendiri. Ia hanya perlu Tuhan untuk mengukuhkan identitas diri dan segala tindakannya. Sesungguhnya kisah Yefta mengajarkan sebuah pokok penting tentang panggilan Tuhan dan cara manusia merespons. Seandainya Tuhan memilih kita untuk melaksanakan tugas mulia, sebaiknya bersikaplah dengan cara yang sama seperti Yefta. Jangan sampai kita mengandalkan kekuatan sendiri dan kekerasan seperti Abimelekh. Kita tetap harus rendah hati dengan mengingat bahwa status kita hanyalah alat bagi tujuan dan kemuliaan-Nya. Sahabat, walaupun ada penolakan dan permusuhan dari dunia, mari kita merespons panggilan Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketaatan. Kita mesti tidak egois, bisa memilah hal terpenting bagi Tuhan dan sesama dalam hidup ini. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 11? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Tuhan sanggup mengubahkan hidup kita dari yang hina menjadi mulia, yang tidak berarti menjadi berarti dan dijadikannya kita berharga di mata-Nya. (pg).

Do not be Hasty in Choosing Leaders

MEMILIH PEMIMPIN. Sahabat, pada tahun 2024 di Indonesia akan ada “Pesta Demokrasi”. DPR telah  mensahkan, Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada 14 Februari 2024. Kesepakatan yang diambil bersama antara pemerintah dan penyelenggara pemilu tersebut, diambil pada Rapat Dengar Pendapat di Gedung Komisi II DPR, Senin, 24 Januari 2022. Saat ini sudah ada 3 kandidat calon Presiden: Ganjar Pranowo; Prabowo Subianto; dan Anies Rasyid Baswedan. Menjelang Pemilu, kita diterpa beragam kampanye dari para calon pemimpin negeri. Demi mendongkrak popularitas, mereka menggunakan banyak cara untuk mempromosikan diri. Tidak jarang hal itu membuat kita bingung dalam memilih. Alhasil, kita sebagai orang percaya  bisa jadi keliru memilih karena termakan kampanye atau karena ajakan untuk memilih berdasarkan kesamaan suku atau agama. Sahabat, pemimpin adalah wakil Tuhan yang diberikan kepada umat-Nya di dunia ini. Pemimpin berasal dari Tuhan, kita harus minta tuntunan Tuhan dalam memilih seorang pemimpin sehingga tidak salah dalam memilih. Memilih pemimpin adalah keputusan yang harus dipertimbangkan masak-masak karena membawa dampak bagi yang dipimpinnya. Karena itu jangan sembarangan memilih pemimpin. Dalam memilih pemimpin, kita memang perlu meneliti rekam jejak kehidupan sang calon. Bagaimana kebijakan yang pernah ia buat? Apakah ia dikenal sebagai pribadi yang memiliki integritas? Hal itu perlu diperhatikan karena dapat dijadikan petunjuk apakah ia layak kita pilih jadi pemimpin atau tidak. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan topik: “Do not Be Hasty in Choosing Leaders (Jangan Gegabah dalam Memilih Pemimpin)”. Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 9:1-6. Sahabat, Gideon, sang pahlawan Israel, seolah bersikap rendah hati tatkala secara resmi menolak permintaan rakyat agar ia menjadi raja Israel. Bahkan ia menegaskan bahwa anaknya pun tidak akan duduk menjadi raja atas mereka (Hakim-Hakim 8:22-31). Meski demikian, secara praktis Gideon bertingkah seperti raja. Namun tidak demikiandengan Abimelekh, anak Gideon. Sahabat, Abimelekh sangat berambisi menjadi raja. Untuk itu ia tidak segan berlaku licik dan kejam (Ayat 1). Padahal penulis kitab Hakim-hakim sedang menegaskan bahwa raja sejati adalah Tuhan. Abimelekh memberi pilihan kepada rakyat: ia atau ketujuh puluh saudaranya yang lain (Ayat 2). Saudara-saudara ibunya ternyata bersikap suportif. Mereka menggalang dukungan, termasuk dukungan dana, bagi Abimelekh. Maka didapatlah dukungan dari warga kota Sikhem dan dari orang-orang bayaran (Ayat 3-4). Selanjutnya, menghabisi ketujuh puluh saudaranya adalah langkah berikut untuk mewujudkan ambisinya (Ayat 5). Orang Sikhem tentu mendengar kisah Abimelekh yang membunuh ketujuh puluh saudaranya, sebelum mereka menobatkan dia menjadi raja (Ayat 6). Namun tampaknya mereka tidak memusingkan hal itu karena bagi mereka, Abimelekh adalah saudara mereka (Ayat 3). Memang ibu Abimelekh, yang merupakan gundik Gideon, berasal dari Sikhem (Hakim-Hakim 8:31). Mungkin saja Abimelekh dibesarkan di Sikhem juga. Fanatisme kedaerahan tampaknya bersuara kuat dalam hal ini. Bisa jadi, orang Sikhem berharap bahwa pelantikan Abimelekh menjadi raja akan membawa keuntungan atau manfaat tersendiri bagi mereka. Meski demikian, seharusnya mereka tidak membutakan hati terhadap kebrutalan Abimelekh. Sahabat, memilih pemimpin adalah keputusan yang harus dipertimbangkan masak-masak karena dampak yang begitu besar bagi rakyat. Apakah orang yang tega membunuh ketujuh puluh saudaranya layak menjadi raja? Keputusan orang Sikhem yang gegabah akan dibayar mahal kemudian. Ini menjadi peringatan bagi kita untuk tidak sembarangan memilih pemimpin. Harus dilihat apakah ia berdiri di atas kebenaran. Dalam menghadapi Pemilu pada tahun 2024, kita sebagai orang percaya tak boleh acuh tak acuh, namun harus bersikap arif. Jangan lagi terjebak pada daya pikat kampanya atau mengikuti ajakan untuk memilih pemimpin berdasarkan kepentingan partai, golongan, kesamaan agama, kesamaan suku, dan kesamaan asal daerahnya. Mari kita minta hikmah Tuhan dalam memilih pemimpin untuk negeri ini. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh berdasarkan hasil perenunganmu? Apa yang perlu kita perhatikan dalam memilih seorang pemimpin? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Kita dapat mendeteksi kualitas kepemimpinan seseorang dari sikap, kebijakan, dan tindakannya. (pg).

Sin Confession and God’s Grace

MENGAKU DOSA. Dalam buku “How to Live 365 Days a Year”, John Schindler menulis, “Tiga dari empat ranjang rumah sakit ditempati oleh orang yang menderita gangguan emosional.” Ia menyimpulkan, “Stres emosional saat ini merupakan penyebab nomor satu sakit-penyakit.” Lalu, apa penyebab stres itu sendiri? Salah satu yang menonjol adalah rasa bersalah dan perasaan tidak diampuni. Firman Allah menjanjikan kemerdekaan besar dari kedua pemicu stres itu. Betapa tidak! Coba kita simak pernyataan Yohanes berikut ini: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yohanes 1: 9). Lalu apakah yang dimaksudkan dengan “mengaku dosa”? Dulu saya mengartikannya sebagai berdoa menyebutkan daftar dosa saya, menyesalinya, bertobat, meminta ampun, dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Ternyata kata “Mengaku” dalam bahasa Yunani menggunakan kata homologeo. Kata ini berasal dari dua kata yaitu homou yang berarti “sama”; ”bersama-sama”; dan kata  logos yang berarti perkataan atau firman. Dengan demikian mengaku dosa berarti menyepakati pernyataan Allah tentang dosa kita. Kita menyepakati bahwa kita berdosa. Kemudian, kita menyepakati cara Allah mengatasi dosa. Di dalam Kristus, Allah menebus dosa kita satu kali untuk selama-lamanya (Ibrani 7:24-27). Dia memutuskan untuk tidak lagi mengingat-ingat dosa dan pelanggaran kita (Ibrani 8:12, 10:17). Sebaliknya, anugerah-Nya mendidik kita untuk hidup dalam kesalehan (Titus 2:11-13). Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan topik: “Sin Confession and God’s Grace (Pengakuan Dosa dan Anugerah Tuhan)”. Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 10:6-18. Sahabat, sampai pasal Hakim-Hakim pasal 10 sudah tujuh kali disebutkan: “Orang Israel itu melakukan pula apa yang jahat di mata Tuhan …” (Ayat 6). Tampaknya mereka masih belum jera juga melakukan dosa itu, yaitu dosa menyembah allah lain. Bayangkan saja, sampai tujuh allah asing yang mereka sembah dan karena itu mereka meninggalkan Tuhan! Sahabat, tentu saja Tuhan tidak tinggal diam melihat semua itu. Jika Israel ingin beribadah kepada allahnya orang Filistin dan bani Amon maka Tuhan membiarkan mereka dengan sekaligus menyerahkan mereka ke tangan bangsa-bangsa itu (Ayat 7). Sampai delapan belas tahun lamanya orang Israel ditindas dan diinjak oleh Filistin dan Amon (Ayat 8). Suatu jangka waktu yang begitu lama untuk merasakan dampak mengkhianati Tuhan. Tuhan memang membiarkan hal itu terjadi begitu lama agar mereka merasakan benar sakitnya penderitaan sebagai akibat meninggalkan Tuhan. Israel memang tidak akan pernah diberkati Tuhan jika mereka menyembah allah-allah lain. Sebaliknya, kesusahan besarlah yang akan datang menimpa mereka. Padahal tujuan Tuhan membawa mereka ke tanah Kanaan adalah untuk memberikan kehidupan yang penuh damai dan sejahtera. Namun ketidaksetiaan mereka membuat Tuhan berbalik melawan mereka. Bahkan ketika mereka menyadari rasa sakit dari penderitaan itu, Tuhan tidak segera memberikan pertolongan meski mereka berseru kepada Dia untuk mengakui kesalahan mereka dan memohon pertolongan-Nya (Ayat 10-14). Barulah ketika mereka menyatakan penyerahan diri secara penuh dan menyatakan tindakan pertobatan yang sungguh-sungguh, Tuhan berkenan menolong mereka (ayat 15-16). Sahabat, ibadah yang dilakukan Israel terhadap allah-allah tetangga mereka memperingatkan kita bahwa umat Allah di mana pun dan kapan pun selalu berada dalam bahaya yang sama, menyembah apa yang disembah oleh dunia ini. Sebab itu Tuhan menginginkan kita untuk memahami bahwa tidak ada hal yang lebih berharga selain percaya dan mengikut Yesus Kristus, Tuhan kita yang adalah Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yohanes 14:6). Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari 1 Yohanes 1:9? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Sebesar apa pun kesalahan kita, Allah memberi kesempatan agar kita kembali pada jalan-jalan-Nya. (pg).