SESAT PIKIR

Saudaraku,  seseorang pernah bertanya kepada seorang pendeta apakah perlu menaruh Alkitab baru dalam peti mati saat saudaranya meninggal.  Sang pendeta dengan tegas mengatakan tidak perlu karena Alkitab hanya dibutuhkan oleh orang yang masih hidup saja.  Rupanya si penanya ingin supaya orang yang meninggal menjalani alam baka dengan tenang, maka perlu meletakkan Alkitab baru di peti mati. Perkara dunia orang mati memang menarik untuk dibicarakan sebagaimana Yesus meluruskan pendapat orang Saduki dalam Matius 22: 23-33.  Mari kita merenungkannya. Kelompok Saduki adalah kelompok orang yang tidak memercayai kehidupan setelah kematian, maka bertanya kepada guru muda seperti Yesus merupakan upaya mengadu pengetahuan.  Sepertinya hal ini biasa dilakukan diantara orang Yahudi.  Para saduki mencari tahu pendapat Yesus tentang situasi setelah kematian yang tidak mereka percayai dan mengaitkannya dengan perkawinan Levirat yang berlaku diantara masyarakat.  Hidup hanya sekali dan setelah itu selesai, itulah prinsip Saduki.  Oleh karenanya orang Saduki menjalani hidup dengan maksimal karena tidak ada cerita kehidupan setelah kematian. Memang prinsip Saduki banyak ditentang oleh mayoritas masyarakat saat itu dan bagi kebanyakan orang Kristen tentunya juga tidak disetujui.  Orang Kristen percaya bahwa ada penghakiman setelah kematian dan ada kehidupan dalam kekekalan.  CS. Lewis dalam sebuah pernyataannya mengatakan: “Jika kita meyakini bahwa rumah kita bukan di sini dan hidup ini hanyalah suatu perjalanan pulang maka yang perlu kita lakukan adalah membawa yang dibutuhkan di sana nanti.”  Namun sekalipun diyakini dan seringkali dibicarakan dalam beberapa kesempatan, banyak orang Kristen yang enggan mempersiapkan hidup kekalnya.  Mereka  bukan Saduki tetapi mewarisi spirit Saduki yang hanya berpikir tentang saat ini, saat mereka hidup di dunia.  Hidup dengan maksimal saat ini namun mengabaikan kekekalan.  Butuh uang cepat, korupsi saja.  Butuh promosi jabatan, suap saja.  Butuh sembuh dengan instan,  pakai magi saja.  Butuh hidup nyaman, kerja terus, hidup super hemat, tidak perlu berbagi.  Tidak ada waktu untuk Tuhan, tidak ada waktu untuk alam kekal.  Apa yang penting adalah hari ini, saat hidup di dunia ini.  Terjadi pengabaian kehidupan setelah mati, bahkan khotbah dalam gereja pun ikut menjadi materialistis.  Apa yang paling penting adalah rasa nyaman di dunia, saat ini. Jawaban Yesus sangat keras kepada para Saduki dan menyebut mereka sesat pikir.  Kesesatan mereka terletak pada gagal pahamnya mereka terhadap Taurat.  Memang orang Saduki menutup diri terhadap kitab-kitab pendukung Taurat, akibatnya mereka terkungkung dalam tafsir Taurat yang sangat sempit.   Teguran Yesus tersebut menunjukkan bahwa kesesatan pikir manusia bisa dilawan dengan terus belajar firman Tuhan dan memahami kehendak Allah.  Perlu untuk terus belajar dan bukan hanya mengikuti pandangan sempit dengan spirit Saduki.  Membangun kesadaran bahwa ada kehidupan setelah kematian membuat manusia belajar berhati-hati dengan hidupnya di dunia dan mengarahkan mata kepada Tuhan sebagaimana Paulus mengatakan: “… jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan …”  (Roma 14:8).  Hiduplah dengan sungguh-sungguh sesuai Firman Tuhan selagi masih ada waktu hidup di dunia.  Selamat bertumbuh dewasa (Ag).

SEBATAS TAHU

Saudaraku, seorang suami sangat cerewet dan menganjurkan istrinya untuk hidup sehat.  Ia tiap hari rela mengantar istrinya jalan pagi di sebuah sport centre, belanja makanan sehat dan sebagainya.  Namun sang suami tidak pernah ikut olahraga, ia hanya mengantar saja.  Ia tidak pernah makan sayur, padahal ia tahu sayur baik untuk kesehatan. Ia tahu tapi tidak mendapat manfaat.  Situasi ini identik dengan ujaran dalam Bahasa Jawa:  Jarkoni (iso ngajar ora bisa nglakoni).  Sungguh disayangkan.  Itulah keprihatinan yang disampaikan Yesus kepada para imam kepala dan tua-tua orang Yahudi, sebagaimana yang dituliskan dalam Matius 21:28-32.  Mari kita renungkan Bersama. Imam kepala dan tua-tua bukanlah orang sembarangan.  Mereka merupakan para elit rohani dan sosial dalam komunitas Yahudi.  Yesus sejak awal mengkritik sikap mereka dan mengidentikkannya dengan kemunafikan.  Munafik adalah sikap yang diambil seseorang yang mengklaim memiliki keyakinan, pandangan atau sikap tertentu namun mereka sendiri tidak konsisten melaksanakannya dengan penuh ketulusan.  Perumpamaan yang diambil oleh Yesus menunjukkan sikap mereka yang sebenarnya malah merugikan mereka sendiri, karena kemunafikan membuat mereka : Gagal menemukan jalan masuk ke Kerajaan Surga karena sombong. Sungguh aneh karena kemampuan dan kapasitas mereka sebagai elit spiritual Yahudi malah mereka terasing. Ironinya, Yesus membandingkan mereka dengan orang yang dianggap paling berdosa dan malah menyatakan bahwa orang paling hina saja bisa menemukan jalan lebih dahulu dari pada mereka, karena kerendahan hati orang berdosa. Tidak mampu bersukacita karena sibuk menjaga citra diri.  Segala kerepotan menjaga Taurat membuat mereka kehilangan makna sukacita dan kasih karunia Allah.   Mereka sibuk memikirkan citra diri sendiri dibandingkan kehendak Allah.  Mereka bermaksud menjaga Taurat tetapi tidak memahami ajaran mereka sendiri.  Sungguh ironi. Mengikut Kristus membutuhkan kerendahan hati dan ketulusan agar dapat menemuka sukacita dalam kasih karunia Allah.  Kemunafikan dapat terjadi saat kesombongan dan merasa tahu firman membuat seseorang tidak lagi mau bertumbuh, apalagi belajar firman Tuhan.  Ketika nafsu pribadi ditutupi dengan hal yang berbau rohani, ketulusan mengikut Kristus menjadi pudar.  Tidak banyak yang waspada dengan kemunafikan dan kesombongan, maka perlu untuk menjaga kerendahan hati supaya tidak terpeleset dalam jebakan kesombongan dan kemunafikan.  Melihat licinnya kemunafikan, maka manusia perlu selalu mawas diri bahwa dirinya adalah pendosa yang membutuhkan karunia setiap saat, sehingga sukacita pengampunan dalam kehidupan dapat terus dinikmati.  Tetaplah menjaga kerendahan hati dan tetaplah menjaga rasa butuh terhadap kasih karunia.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

Correcting Our Lives

MENGOREKSI DIRI. Sahabat, mengoreksi diri atau introspeksi atau  muhasabah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dsb) diri sendiri. Di kalangan kaum Milenial mengisi waktu luang  lebih dikenal dengan istilah “me time”. Sesungguhnya me time tidak hanya bisa dilakukan dengan aktivitas yang menyenangkan, seperti menonton film atau drakor (drama Korea) saja, namun juga bisa kita  manfaatkan untuk mengembangkan diri. Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kualitas diri agar bisa menjadi seorang individu yang lebih baik lagi yaitu dengan mengoreksi diri. Mengoreksi diri merupakan sebuah kegiatan untuk mengevaluasi atau mengamati apa saja yang sudah kita lakukan selama beberapa waktu ke belakang, baik dalam hal positif maupun negatif. Selain bisa membantu untuk mengembangkan diri dengan melakukan perbaikan atas hal-hal kurang baik yang pernah dilakukan sebelumnya, mengoreksi diri sendiri juga akan memberikan berbagai manfaat lain. Kita jadi bisa lebih mengenal dan menghargai diri sendiri, lebih bijak dalam menyelesaikan masalah, mengurangi kecemasan, meningkatkan kepercayaan diri, memiliki kehidupan yang lebih baik dengan mengontrol diri, dan lain-lain. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan topik: “Correcting Our Lives (Mengoreksi Hidup Kita)”. Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 6:1-40. Sahabat, memang tidak selamanya hal buruk terjadi selalu akibat dari perbuatan dosa. Namun tidak dapat disangkal, kadang kala kesesakan datang karena akibat perbuatan kita yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Oleh sebab itu, dalam keadaan lancar maupun tersendat penting bagi kita untuk senantiasa mengoreksi diri. Sayangnya, kesadaran untuk mengoreksi diri dan bertobat tidak dimiliki oleh bangsa Israel. Mereka memang datang kepada Tuhan ketika ditekan oleh bangsa Midian. Mereka juga berteriak meminta pertolongan dari Tuhan (Ayat 6). Namun dalam menjalani keseharian, mereka tetap berbuat dosa. Mereka mempraktikkan penyembahan berhala sebagai rutinitas. Hal tersebut terlihat dari tiang-tiang berhala dan patung Baal masih ada di tengah mereka. Sahabat, situasi seperti itulah yang terjadi dalam kehidupan Gideon. Ia tinggal di tengah-tengah bangsa dengan kualitas spiritualitas yang minim. Jadi, tidak mengherankan jika ia tidak mudah percaya pada perkataan malaikat Tuhan. Bahkan, ia sempat bersungut-sungut, “… jika Tuhan menyertai kami, mengapa semuanya ini menimpa kami? …” (Ayat 13) . Sering kali, kita juga bersikap sama seperti Gideon dan bangsa Israel. Ketika kesulitan datang, kita dengan mudahnya menyalahkan Tuhan, keadaan, dan orang lain. Kita mengeluh tetapi lupa mengoreksi diri. Sikap demikian tentunya tidak akan membawa kita pada penyelesaian masalah. Sebaliknya, kita menjadi semakin jauh dari Tuhan. Sahabat, ketika kehidupan kita lancar, jangan lupa bersyukur dan tetap mendekat kepada Tuhan. Kala masalah menghampiri, sebaiknya kita jangan buru-buru mengeluh, apalagi menyalahkan Tuhan, keadaan,  dan orang lain. Sebaiknya, mari kita segera datang kepada Tuhan dan mengoreksi diri di hadapan-Nya. Kalau ada kesalahan dan dosa, mari kita mengakuinya dan memohon pengampunan-Nya. Setelah itu, kita berdoa memohon tuntunan-Nya untuk memulihkan hidup kita. Mulai sekarang, mari kita mengoreksi hidup kita terus-menerus agar diperkenan-Nya. Kita mohon pengampunan-Nya dan kita mesti memperbaiki kesalahan. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 15? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Jangan hanya melihat kekurangan dan kelemahan kita, mari kita respons panggilan Tuhan dengan penuh keyakinan bahwa  Ia akan melengkapi dan memampukan kita. (pg).

Deborah, The Multitalented Person

MULTITALENTA. Bapak Ev. Andreas Christanday, Ketua Pembina Yayasan Christopherus,  dikenal di kalangan luas sebagai seorang multitalenta. Sahabat, multitalenta merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan pribadi seseorang yang serba bisa dan menguasai berbagai kemampuan. Secara harfiah, multitalenta artinya memiliki banyak talenta atau bakat. Orang yang multitalenta biasanya mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka sangat senang mempelajari setiap hal baru yang menarik minatnya. Orang yang multitalenta tidak hanya memiliki banyak kelebihan, mereka juga seringkali dihadapkan dengan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), multitalenta berasal dari kata multi yang berarti “banyak” atau “lebih dari satu” dan talenta yang berarti “bakat”. Secara keseluruhan, multitalenta artinya memiliki banyak bakat. Dalam pengertian yang lebih luas, multitalenta dianggap sebagai kemampuan seseorang untuk menguasai lebih dari satu bidang atau bakat tertentu. Orang yang multitalenta bisa mengerjakan banyak hal karena bakatnya dalam berbagai bidang. Kemampuan yang dimiliki orang dengan multitalenta dapat berasal dari dua sumber, yaitu bakat alami dan bakat latihan. Hari ini kita akan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan topik: “Deborah, The Multitalented Person (Debora Sang Multitalenta)”. Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 4:1-24. Sahabat, Debora merupakan hakim keempat dan satu-satunya hakim perempuan. Ia juga seorang nabi, mediator, penasihat, dan konselor yang baik. Bisa dikatakan Debora seorang yang multitalenta. Ia adalah salah seorang perempuan berpengaruh pada zamannya. Mengapa Debora bisa sangat berpengaruh? Saat itu adalah zaman patriarki. Perempuan dianggap tidak penting, warga kelas dua. Walau begitu, ia tidak merasa rendah diri. Ia tetap melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang perempuan dengan baik. Ia melaksanakan perannya sebagai seorang istri. Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang hakim dan nabi pun, ia tidak menonjolkan diri. Debora tidak haus kekuasaan, sekalipun ia berpeluang mengambil alih kepemimpinan dari Barak. Ia juga tidak haus pujian, walaupun ia berhasil menjadi motivator Barak dan orang Israel untuk maju mengalahkan musuh. Sebaliknya, dengan rendah hati ia menerima tanggung jawabnya untuk melakukan kehendak Tuhan. Ia mengembalikan segala pujian kepada Tuhan, Sang Empunya pelayanan. Sahabat, bagaimana dengan kehidupan pribadi dan pelayanan kita hari ini? Mungkin kita berkecil hati karena merasa tidak dianggap atau disepelekan dalam melaksanakan tanggung jawab yang dipercayakan. Di sisi lain, kita juga bisa menjadi sombong ketika Tuhan memercayakan banyak tanggung jawab. Kita menjadi arogan karena merasa sebagai orang penting. Kedua sikap tersebut kurang tepat. Oleh karena itu, mari kita belajar rendah hati seperti Debora. Dengan penuh keberanian, ia menerima tugas yang Tuhan berikan. Apa pun tanggung jawab yang Tuhan percayakan, baik pekerjaan, rumah tangga, studi, dan pelayanan, mari kita lakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengandalkan Tuhan. Kalau berhasil, setiap pujian kita terima dengan rendah hati dan mengembalikannya kepada Tuhan. Sebab, Ia yang memampukan kita untuk menyelesaikan itu semua. Biarlah melalui kehidupan kita, yang dimuliakan melebihi siapa pun adalah Tuhan. Haleluya. Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 4-5? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Kunci dari keberhasilan seseorang bukanlah soal gender, melainkan siapa yang peka dan yakin akan pimpinan tangan Tuhan. (pg).

God’s Work in My Weakness

NICK VUJICIC. Sahabat, kita sering kali merasa apa yang sudah kita miliki belum cukup. Alih-alih bersyukur, kita mengejar hal-hal yang sebenarnya tidak kita perlukan. Padahal, jika dilihat lebih dalam, kekurangan yang kita miliki merupakan sebuah keunikan yang perlu kita syukuri. Sesungguhnya punya kekurangan tidak membatasi diri untuk beraktivitas dan jadi berguna. Seperti apa yang dialami oleh Nick Vujicic. Nick Vujicic adalah motivator dunia berkebangsaan Australia. Ia mengalami sindrom tetra-amelia, sebuah sindrom langka yang punya karakteristik tanpa lengan dan kaki. Ia lahir pada 4 Desember 1982 di Melbourne, Australia. Nick tumbuh dari keluarga yang sederhana, ayahnya bekerja di kantor administratif sekaligus penginjil dan ibunya seorang bidan juga perawat. Maka Nick kecil tidak hanya berurusan dengan permasalahan sekolah dan remaja seperti intimidasi. Nick kecil juga berjuang dengan depresi dan rasa kesepian sebagaimana ia sering mempertanyakan alasan ia berbeda dari semua anak lainnya. Laki-laki yang memiliki nama lengkap Nicholas James Vujicic itu memang punya masa kecil yang sedikit kelam karena perbedaan fisik yang dimilikinya. Saat berusia 10 tahun, Nick pernah mencoba bunuh diri dengan cara menenggelamkan dirinya di bak mandi sendiri karena intimidasi yang dialaminya di sekolah. Syukur , Nick mempunyai orangtua yang suportif. Saat usia 17 tahun, ibu Nick menunjukkan sebuah artikel tnetang seorang laki-laki cacat yang berhasil mengatasi kekurangannya. Nick kemudian terinspirasi untuk jadi motivator dan memulainya dengan berbicara di kelompok gereja. Ia menjadi orator profesional pada usia 19 tahun dan kariernya terus menanjak naik. Pada 2005, Nick Vujicic membuat “Life Without Limbs” yang merupakan sebuah organisasi nonprofit internasional tentang pelayanan penginjilan. Tujuan organisasi tersebut adalah untuk berbagi harapan dan cinta sejati yang Nick sudah alami kepada orang-orang di seluruh dunia. Tercatat sudah 69 negara Nick kunjungi dalam usahanya mencapai tujuan bersama “Life Without Limbs”. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan topik: “God’s Work in My Weakness (Karya Tuhan dalam Kelemahanku)”. Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 3:12-31. Sahabat, jatuh bangun di dalam dosa!  Itulah gambaran kehidupan bangsa Israel.  Ketika tidak ada raja atas Israel, maka mereka melakukan hal yang jahat di mata Tuhan:  mulai menyembah ilah-ilah lain dan menjauhkan diri dari hadirat Tuhan.  Hal itu menimbulkan murka Tuhan sehingga mereka diserahkan kepada musuh-musuh.  Tapi dalam kitab Hakim-Hakim ini setiap kali bangsa Israel jatuh ke dalam dosa dan diserahkan kepada orang asing.  Tuhan selalu membangkitkan seorang pahlawan di antara umat Israel.  Kali ini Tuhan membangkitkan Ehud. Menjadi kidal juga dianggap sebagai sebuah kelemahan atau cacat pada saat kelahiran Ehud. Memang, Alkitab tidak mendetail menceritakan bagaimana Ehud menjalani kehidupannya dengan kelemahannya itu. Namun, Alkitab mencatat bagaimana Tuhan memilih dan memakainya sebagai penyelamat Israel. Pada saat umat Israel merasakan tekanan dan penderitaan yang berat, mereka berseru kepada Tuhan untuk memohon pertolongan-Nya (Ayat 15). Lalu, Tuhan menjawab mereka melalui Ehud, sang pengantar upeti Israel kepada Moab. Lewat profesi tersebut, ia memiliki peluang untuk menyelamatkan Israel. Kelemahan fisik atau kelemahan yang lain adalah sesuatu yang mungkin sulit kita terima. Dalam menyikapi hal ini, teladan Ehud layak kita contoh. Ia merespons panggilan Tuhan dengan segenap kemampuannya. Demikian juga hendaknya kita bersikap ketika Tuhan ingin memakai kita sebagai alat-Nya. Sekalipun kita memiliki banyak kelemahan, bukan berarti Tuhan tidak dapat memakai kita untuk kemuliaan-Nya. Sebaliknya, jika kita dengan rendah hati menerima tugas panggilan-Nya, Ia akan memperlengkapi kita. Ia juga akan memberi kita kemampuan dan keberanian agar maksud dan tujuan-Nya tergenapi. Oleh sebab itu, kita jangan menyerah pada kelemahan yang ada. Sebaliknya, mari kita tetap melakukan yang terbaik untuk Tuhan dan sesama. Dengan demikian, kita dan orang lain pun akan melihat dan merasakan karya-Nya bekerja secara nyata. Dengan begitu, Allah akan dimuliakan. Mari kita belajar bersyukur untuk setiap kelebihan dan kelemahan yang ada pada kita. Semuanya ada untuk kemuliaan Tuhan. Kita tidak boleh berhenti untuk menjadi lebih baik. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenungan dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 30? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Dalam pergaulan, selayaknya kita justru berkontribusi untuk membawa perubahan positif. (pg).

Singing Victory Everyday

NYANYIAN. Sahabat,  nyanyian adalah sesuatu yang biasa kita jumpai dalam keseharian. Pada umumnya, musik dan liriknya menggambarkan isi hati sang penggubah lagu. Selalu ada maksud yang ingin disampaikan melalui lagu tersebut. Demikian juga dengan nyanyian kepada Tuhan; orang-orang yang mengasihi-Nya memiliki tujuan memuliakan-Nya. Nyanyian rohani atau puji-pujian dapat menjadi sebuah ungkapan syukur dan pernyataan iman kita kepada Tuhan. Nyanyian  juga merupakan bagian penting dalam kehidupan rohani kita. Nyanyian kepada Tuhan mampu menolong kita mengarahkan perhatian kepada-Nya. Nyanyian dapat menolong kita untuk mengungkapkan rasa syukur ketika mengalami pertolongan Tuhan. Lewat nyanyian, kita bisa mengeluarkan perasaan tertekan dan kesedihan kita kepada Tuhan. Dengan memuji Tuhan, kita bisa menghadapi kekhawatiran dan merasakan damai sejahtera. Apa pun yang sedang kita alami dalam hidup ini, baik sukacita maupun tekanan berat, memuji Tuhan akan menolong kita untuk membangkitkan pola pikir dan sikap hidup yang lebih positif. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan judul: “Singing Victory Everyday (Nyanyikanlah Kemenangan  Setiap Hari)”. Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 5:1-31. Sahabat, nyanyian  merupakan bagian yang sangat dihargai dalam budaya Israel dari dahulu hingga sekarang. Hal tersebut terlihat dari gubahan nyanyian Debora dalam bacaan kita pada hari ini. Nyanyian Debora tersebut dicipta sesudah kemenangan Israel atas Kanaan. Bagian tersebut merupakan pujian yang menceritakan tentang kemenangan Israel yang dicatat pada pasal 4. Nyanyian tersebut  merupakan pernyataan bahwa Tuhan itu Mahabesar dan Mahakuasa sehingga layak dipuji, dimuliakan, dan ditinggikan. Nyanyian itu merupakan pengakuan bahwa hanya perbuatan tangan-Nyalah yang memampukan Israel mengalahkan musuh. Nyanyian itu sekaligus menjadi pengingat bagi Israel. Ketika mengasihi Tuhan dan bergantung kepada-Nya, mereka pasti akan mengalahkan musuh yang mengancam (Ayat 31). Sahabat, bagi orang percaya, nyanyian kemenangan dan sukacitalah yang harus keluar dari mulut di segala keadaan, bukan nyanyian cengeng tanda frustasi, kecewa dan gagal.  Biarlah setiap nyanyian dan pujian kita selalu menjadi tanda kemenangan atas setiap pergumulan hidup kita, tanda kita mengimani janji-janji Tuhan.  Dalam bacaan kita,  Debora sedang menyanyikan nyanyian kemenangan bagi bangsa Israel, nyanyian yang bermuatan iman yang membuat musuh gemetar dan lari tunggang langgang;  nyanyian pengagungan yang menyenangkan hati Tuhan, yang menggerakkan tangan-Nya untuk bertindak:  “Karena pahlawan-pahlawan di Israel siap berperang, karena bangsa itu menawarkan dirinya dengan sukarela, pujilah TUHAN! … Demikianlah akan binasa segala musuh-Mu, ya TUHAN! Tetapi orang yang mengasihi-Nya bagaikan matahari terbit dalam kemegahannya. Lalu amanlah negeri itu empat puluh tahun lamanya.”  (Ayat 2 dan 31).  Hal itu menunjukkan bahwa Debora sangat percaya akan kuasa Tuhan!  Ia berkeyakinan jika Tuhan ada di pihak bangsa Israel, siapa yang dapat melawannya?  Bangsa manakah yang dapat menahan dan menghentikan keperkasaan Tuhan? Sahabat, nyanyian kemenangan seperti itulah yang dapat menghasilkan mukjizat, sebab Tuhan bersemayam di atas puji-pujian umat-Nya  (Mazmur 22:4).  Bila Tuhan sendiri yang bertakhta di atas pujian yang kita naikkan, maka sesuatu yang dahsyat pasti terjadi:  Kemenangan, pemulihan, kesembuhan dan berkat-berkat-Nya dinyatakan atas kita. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 15-17? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: “… Engkaulah yang memberi kami kemenangan terhadap para lawan kami, dan orang-orang yang membenci kami Kauberi malu.”  (Mazmur 44:8). (pg).