BERANI INTROSPEKSI DIRI

Saudaraku, ingat sebuah pepatah: Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada Nampak?  Sepertinya pepatah Indonesia tersebut identik dengan perkataan Yesus dalam bagian Khotbah di Bukit yang berbicara tentang menghakimi sesama.  Mari kita renungkan Matius  7:1-9. Saudaraku, memang sangat mudah menemukan kesalahan pada orang lain dibandingkan menemukan kesalahan pada diri sendiri.  Yesus sungguh mengingatkan para pendengar-Nya untuk melihat sikap menghakimi sebagai penyakit yang serius dan berpotensi merusak diri sendiri dan orang lain.  Perbandingan yang dipakai Yesus sungguh menarik yaitu selumbar dan balok.  Selumbar memiliki arti benda kecil dan kering yang bisa melayang ke mata dan membuat kelilipan karena bisa masuk ke mata tanpa bisa disadari.  Yesus membandingkannya dengan balok, kayu besar yang tampak nyata di mata manusia.  Perbandingan ini menarik karena Yesus ingin menekankan kecenderungan manusia yang mementingkan diri sendiri, sehingga mengecilkan sesamanya.  Yesus melihat kecenderungan ini dilakukan pada masa itu sehingga kesombongan rohani memisahkan manusia satu dengan yang lain. Pesan Yesus sangat jelas yaitu sebelum menghakimi, haruslah manusia berani untuk introspeksi diri (Matius 7:5).  Hal ini dikarenakan : Manusia perlu untuk belajar rendah hati. Mengeluarkan balok dari mata sendiri adalah gambaran keberanian untuk melihat ke dalam diri sendiri dan mengakui kelemahan diri. Melihat diri sendiri dan dengan jujur menerima kelemahan diri sendiri membutuhkan kerendahan hati. Yesus ingin menekankan bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan dosa yang membuatnya tidak bisa obyektif memandang orang lain, maka orang harus menyadari kebutuhan untuk menjalin relasi dengan Allah. Kebenaran sejati adalah milik Tuhan. Introspeksi diri mengajarkan manusia untuk menyadari bahwa ia tidak cukup layak untuk menilai sesamanya dengan ukuran yang dibuatnya.  Hal ini dikarenakan ukuran manusia itu relatif dan sesuai dengan pandangannya yang subyektif.  Manusia yang berani introspeksi diri akan menyadari bahwa ia juga bukan orang yang benar dan baik sehingga ia juga tidak bisa mengukur orang lain dengan ukuran buatannya. Sebuah contoh buruknya menghakimi ada dalam kisah sebagai berikut : Seorang lansia marah-marah karena kalau ia melihat ke halaman tetangga dari jendela dapurnya, ia mendapati sang tetangga selalu menjemur seprai dan baju yang sangat kotor.  Ia menggerutu dan membicarakan kejelekan tetangga itu kepada anak atau siapa pun yang mengunjunginya.  Bahkan lansia itu diam-diam menjuluki tetangganya dengan sebutan : “Si Jorok”. Karena jengah dengan omelan orangtuanya, si anak mengambil lap dan membersihkan jendela yang biasa dipakai lansia itu melihat halaman Si Jorok.  Ajaib. Setelah jendela dibersihkan, lansia itu melihat bahwa yang dijemur tetangganya adalah seprai dan baju yang sudah bersih dicuci.  Ternyata kaca jendelanya sendiri yang jorok sehingga lansia itu salah menilai tetangganya.  Dari renungan ini, mari kembali berpikir: Selama ini ukuran apa yang kita pakai untuk menilai orang lain?  Mari kita meminta Tuhan memberi keberanian untuk kita melakukan introspeksi diri dan mengurangi sikap menghakimi yang bisa memecah hubungan antara kita dengan sesama.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

The Lebanon Cedars was Cut Down

POHON ARAS LIBANON. Dari Reformed Exodus Community (REC) saya mendapatkan info bahwa Pohon aras dari Libanon (Cedrus libani) adalah pohon pegunungan, berselimut salju di musim dingin, tumbuh terutama di atas tanah berbatu di ketinggian 1.500 -1.900 meter di Libanon dan bentangan luas (pintu gerbang) Cilician Gunung Taurus. Pohon itu sangat dihormati oleh semua orang dan oleh keluarga kerajaan di seluruh Timur Tengah sebagai “kemuliaan Lebanon” (Yesaya 35:2). Pohon itu terkenal karena keindahan dan kegunaannya. Pohon itu merupakan pohon terbesar dari pohon asli mana pun di Timur Tengah. Tinggi pohon aras mencapai 27 meter dan tebalnya 12 meter. Cabang-cabangnya yang panjang menyebar secara horizontal dari batangnya, dan daunnya gelap dan hijau, berkilauan seperti perak di bawah sinar matahari. Tidak hanya pepohonannya yang mengesankan, tetapi habitatnya juga sangat indah. Karena persyaratannya untuk suhu dingin, pohon aras Lebanon terbatas pada ketinggian yang lebih tinggi di pegunungan Lebanon, di mana pohon ini menerima kelembapan sebagai hujan, kabut, dan salju dari angin barat dari Mediterania. Pepohonan hijau tua dan tanaman terkait membentuk tumbuh-tumbuhan yang berbeda. Pohon aras tumbuh lambat dengan inti kayu yang kokoh dan tahan terhadap pembusukan. Mereka adalah pohon terbesar yang tersedia di Asia Barat. Sebagai pohon yang indah dan hidup dalam lingkungan yang luar biasa, pohon aras dipanen oleh setiap penduduk dan digunakan dalam proyek pembangunan kekaisaran karena tidak mudah busuk. Ketika Salomo menginginkan kayu untuk proyek pembangunannya, dia mengontrak Hiram, raja Tirus, untuk pengiriman kayu aras untuk pembangunan bait suci di Yerusalem (1 Raja-Raja 5) dan istananya (Istana Hutan Lebanon, 1Raja-Raja 7:2). Aras dari Libanon dinilai sebagai kayu berkualitas tinggi, sehingga penggunaannya mencerminkan kekayaan dan kekuasaan raja. Hari ini kita melanjutkan belajar dari kitab Yehezkiel dengan topik: “The Lebanon Cedars was Cut Down (Pohon Cedar Lebanon Ditebang)”. Bacaan Sabda diambil dari Yehezkiel 31:1-18 dengan penekanan pada ayat 11. Sahabat,  bacaan kita pada hari ini  menyebutkan Mesir sebagai pohon aras Libanon. Dengan luas cakupan kekuasaan Mesir saat itu, kekuatan budaya, potitik, ekonomi dan pertahanannya, didukung lagi dengan kekayaan alamnya, membuat seolah-olah tidak ada lagi bangsa yang sanggup menyamai Mesir, bahkan pohon-pohon aras di taman Allah sekalipun. Hal itulah yang membuat banyak bangsa datang dan berlindung kepada Mesir. Sayang sekali karena pohon yang begitu megah itu, Alkitab katakan akan ditebang. Allah akan mendatangkan bangsa Asyur yang ganas untuk menebang dan membiarkannya dan semua bangsa yang berlindung kepadanya akan lari membiarkan Mesir. Sahabat, hal tersebut merupakan  hukuman akibat kesombongan Mesir, yang merasa tinggi, besar, kuat, dan dengan congkak ia mengalahkan umat Allah dan terlebih lagi merasa bahwa dirinya sudah mengalahkan Allah. Hal itu sekaligus juga menjadi peringatan bagi semua bangsa saat itu: Jangan sombong, jangan merasa bangga apabila bisa mengalahkan umat Allah, bisa mengalahkan Israel dan Yehuda. Mereka bisa mengalahkan Israel dan Yehuda, karena Allah sedang menghukum umat-Nya dan kebetulan bangsa-bangsa luar itulah yang dipakai Allah sebagai alat untuk menghukum dan mendidik umat pilihan-Nya. Dari bacaan pada hari ini,  kita melihat bahwa manusia yang sombong, sekuat apa pun dia, suatu saat pasti akan jatuh juga. Allah kita bukan Allah yang diam, Ia adalah Allah yang menguasai sejarah umat manusia. Allah-lah yang mengizinkan satu bangsa tumbuh besar dan mengizinkan juga satu bangsa yang tidak benar dihancurkan. Mari kita belajar menjadi orang yang rendah hati, sekalipun mungkin kita sedang diberkati dan dipakai Allah saat ini. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Pelajaran rohani apa yang Sahabat dapatkan untuk diterapkan di dalam kehidupan  hari lepas hari? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Saat Tuhan berkenan memakai kita, bersikaplah rendah hati supaya Ia memakai kita untuk perkara yang lebih besar. (pg).

Knowing the Boundaries

MENETAPKAN BATASAN. Dalam hidup sehari-hari, kita sering menetapkan atau membuat batasan. Ketika utusan dari bengkel sepeda motor datang untuk mengambil sepeda motor guna diservis, saya berpesan: “Kalau ada penggantian onderdil lebih dari Rp. 250.000,- harap menghubungi saya terlebih dahulu”. Nah, di sini saya menetapkan batasan, Sahabat, batasan itu layaknya sebuah rumah, yang memiliki pagar depan, teras, ruangan-ruangan tertentu seperti ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, dapur, hingga kamar tidur. Kita, sebagai pemilik rumah, tentunya memiliki batasan, siapa saja yang kita izinkan  masuk hanya sampai pagar depan, teras, ruang tamu,  dan seterusnya.  Nah, seperti itulah gambaran dari penerapan batasan atau boundaries pada diri kita, baik itu batasan fisik, emosional ataupun spiritual. Bagi saya, menetapkan batasan atau setting boundaries adalah hal yang sangat penting, bukan untuk mengontrol orang lain tetapi untuk melindungi diri sendiri. Membuat batasan bisa membuat kita untuk membedakan antara posisi kita dengan posisi orang lain hingga membedakan keinginan kita dengan keinginan orang lain. Jadi, hidup yang kita jalani ini bisa lebih selaras dengan nilai yang kita pegang atau anut. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Yosua dengan topik: “Knowing the Boundaries (Mengetahui Batas)”. Bacaan Sabda diambil dari Yosia 15:1-12.  Sahabat,  bacaan kita pada hari ini  berkisah tentang bagaimana bani Yehuda diajak mengerti batas wilayahnya. Batas teritorial itu kemudian harus dijaga dan dihormati bersama-sama. Tanpa kesadaran seperti itu, mereka hanya akan memanen kekacauan karena hidup tanpa batasan artinya tanpa aturan. Batasan akan mendidik kita tentang kemerdekaan dan kemandirian dalam kebersamaan. Ini menjadi pelajaran penting bagi suku bani Yehuda. Dengan batasan, orang bisa berdikari mengurus kemajuan wilayah masing-masing. Namun demikian, mereka tidak bisa mengabaikan tanggung jawab bersama kepada suku Lewi. Pasalnya, mereka merupakan suku yang tak punya hak milik untuk mengolah tanah. Bila diperhatikan, lokasi huni suku bani Yehuda tidak sama untuk setiap kaumnya. Ada yang berbatasan dengan padang gurun Zin; ujung Laut Asin; pendakian Akrabim; Kiryat-Yearim; berdekatan dengan lembah; dan ada pula yang berbatasan dengan daerah perbukitan. Setelah mengetahui batas masing-masing, setiap kaum harus menggali potensi wilayahnya. Mereka akhirnya terdorong untuk mengenali potensi diri. Inilah pentingnya tahu batasan. Sahabat, mengapa batasan dianggap penting? Tanda kemajuan peradaban adalah mengetahui sekaligus mengerti batasan. Alhasil, kita menjadi paham pada hal yang tak semestinya dilanggar. Alhasil, keadilan dan perikemanusiaan dapat tegak terwujud. Salah satunya adalah dalam menentukan batas-batas wilayah. Ini untuk menunjang kelangsungan hidup menjadi bangsa manusia. Selanjutnya, memiliki batasan juga membantu kita membentuk hubungan yang sehat dengan orang lain, karena hubungan yang sehat didasari dengan adanya saling menghormati. Hubungan yang sehat itu ialah tentang bagaimana diri kita, bukan tentang apa yang telah kita lakukan ke orang tersebut. Berbicara mengenai hubungan yang sehat, dalam kehidupan sehari-hari tak sedikit orang yang senang menjalin hubungan dengan orang lain bukan karena bagaimana orang tersebut, bukan karena kepribadian dan perilakunya, atau bahkan bukan karena nilai yang dia pegang, tetapi hanya karena orang tersebut dirasa baik kepada kita. Sahabat, kata baik disini memiliki arti bahwa orang tersebut bisa dengan mudah melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu kepada kita, contohnya dengan mudah memberikan waktu ataupun energinya untuk kita. Cara pandang seperti inilah yang sulit membuat kita memiliki hubungan yang sehat dengan orang lain. Jika kita bisa menerapkan batasan, maka akan mudah bagi kita mengetahui siapa saja yang menghargai kita dengan tulus dan nantinya akan membawa kita untuk menciptakan sebuah hubungan yang sehat pula. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami tentang batasan? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Kenali batas kemampuanmu, tapi cobalah untuk dapat melampauinya setiap hari. (pg)