MENJALANI TANPA PRIVILEGE

Manusia biasanya memakai privilege (hak istimewa) untuk bisa lolos dari beberapa hal yang dianggap menghambat langkahnya, kalau bisa tidak usah lewat proses tertentu dan kalau bisa potong kompas saja.  Sangat sedikit orang yang punya privilege menyadari pentingnya proses untuk memperoleh sesuatu, termasuk dalam hal ini, Yesus Sang Mesias.  Hari ini kita melanjutkan belajar dari Injil Matius dengan merenungkan Matius 3:13-17. Saat Yesus meminta Yohanes Pembaptis  untuk membaptis-Nya, Yohanes menolak.  Sebagai seorang spiritualis, Yohanes mengenali siapa Yesus sebenarnya.  Bahkan Injil Yohanes mencatat pengakuan Yohanes kepada Yesus: Inilah Anak Domba Allah yang menghapus dosa isi dunia (Yohanes 1:20).  Baptisan Yohanes sendiri merupakan tanda pertobatan dan kehidupan yang baru (Matius 3:11), maka saat Yesus dibaptiskan menandakan bahwa Yesus siap menjalani kehidupan yang baru.  Yohanes merasa bahwa dialah yang harus dibaptiskan oleh Yesus karena posisi Yesus lebih tinggi dari Yohanes secara rohani.  Namun Yesus menolak permohonan Yohanes dan memilih untuk menjalani proses pertama memulai pelayanan-Nya sebagai seorang pengajar yaitu baptisan.  Yesus  mau mengikuti proses yang ditetapkan manusia (Matius 3:16). Saudaraku, renungkanlah hal ini dari sikap Yesus: Yesus mengikuti proses walau memiliki privilege Apa arti privilege?  Privilege adalah sebuah keistimewaan berupa akses atau keuntungan yang tidak diterima orang lain.  Biasanya privilege diterima berdasarkan segmen tertentu.  Karena Yohanes melayani di bidang spiritual, maka Yohanes menangkap keistimewaan Yesus yang saat itu datang dan minta dibaptis olehnya. Kesadaran Yohanes inilah yang mendorongnya untuk mengatakan kepada Yesus: Kamulah yang harus membaptisku, aku tidak layak.  Namun Yesus menolak privilege yang ditawarkan Yohanes, padahal saat itu Yohanes sangat popular dan banyak follower-nya.  Yesus memilih mengikuti proses. Inilah wujud kerendahan hati Yesus yang rela dianggap berdosa dan dibaptiskan agar bisa mulai menjadi Pemberita Kerajaan Allah. Saat Ia merendahkan diri, surga justru menyatakan siapa diri-Nya. Tak disangka bahwa ketika Yesus selesai dibaptis, sebuah keajaiban terjadi dimana langit terbuka dan Roh Kudus turun disertai pengakuan status Yesus (Matius 3:16-17).  Ternyata surga merayakan sikap rendah hati Yesus dengan membuka status asli-Nya.  Kerendahan hati dan ketaatan sangat dihargai oleh Allah sebagaimana Paulus mengatakan dalam Filipi 2:8-9 bahwa Allah meninggikan kerendahan hati Yesus. Kerendahan hati dan ketaatan.  Itulah yang jelas tergambar dari sikap Yesus yang rela mematuhi proses walau sebenarnya Ia bahkan bisa memakai privilege-Nya.  Yesus merendahkan diri begitu rupa agar Kerajaan Allah dapat diberitakan.  Mari bandingkan dengan manusia.  Beberapa orang bersikap arogan Ketika memiliki keistimewaan sedikit saja. Misalnya saat punya jabatan tinggi atau punya orang tua pejabat, merasa bisa menganiaya orang lain yang dianggap mengganggu atau merugikan dirinya.  Kasus-kasus seperti itu akhir-akhir ini banyak kita dengar, lihat dan baca bukan? Oleh karena itu mari kita pikirkan bersama : Mengapa manusia selalu cenderung untuk memanfaatkan privilege untuk menghindari sebuah proses atau konsekuensi yang pastinya berkaitan dengan keuntungan dirinya? Apa yang bisa membuat manusia bisa hidup dalam sebuah proses tanpa mengutamakan privilegenya? Tidak banyak manusia mampu menahan diri dari memanfaatkan keistimewaan yang dia miliki untuk kepentingannya sendiri.  Hanya manusia yang memandang Kristus dan berkomitmen untuk mengikuti jejak-Nya  yang mampu melakukannya.  Apakah kita juga demikian?  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

TERHITUNG WALAU TAK DIPERHITUNGKAN

Saudara, mulai hari ini kita akan belajar dari Injil Matius, dan  hari ini ini kita akan merenungkan Injil Matius 1:1-17 dengan topik: “TERHITUNG WALAU TAK DIPERHITUNGKAN”.   Kemunculan nama empat perempuan di silsilah Yesus seperti tercantum dalam bacaan kita merupakan hal yang sangat jarang terjadi. Biasanya silsilah di dalam Alkitab memuat nama-nama laki-laki dan bukan perempuan.  Itulah sebabnya kemunculan empat nama perempuan dalam silsilah Yesus, tokoh utama dalam Injil Matius, pantas untuk menjadi perenungan. Keempat perempuan itu adalah Tamar (ayat 3), Rahab (ayat 5), Rut (ayat 5) dan isteri Uria (ayat 6).  Keempatnya sebenarnya tidak memiliki kriteria yang cukup baik sehingga pantas disebutkan dalam daftar silsilah, yaitu: Tamar.  Ibu ini melahirkan si kembar Peres dan Zerah dari Yehuda yang adalah mertuanya sendiri (Kejadian 38:27).  Rahab bekerja sebagai wanita penghibur sebelum bertemu dan menikah dengan Salmon, salah satu mata-mata Yosua (Yosua 2 : 1). Rut adalah wanita asing yang meninggalkan identitasnya demi mengikuti mertuanya (Rut 1:16-17) Istri Uria (BIS : bekas istri Uria) untuk menyebutkan ibu dari Salomo, raja agung Israel.  Matius tidak menyebutkan nama perempuan itu sebagaimana ketiga nama yang lain, namun hanya mencatat statusnya sebelum menikah dengan Daud. Alkitab mencatat kehebohan perselingkuhan itu (2 Samuel 11) Jelas bahwa nama para perempuan di silsilah Yesus versi Matius bukanlah perempuan yang memiliki sejarah hidup yang biasa. Walaupun demikian para ibu ini mendapatkan tempat khusus yang disediakan oleh Matius untuk mencatat nama-nama mereka.  Mereka lemah secara identitas seksual karena mereka adalah perempuan, mereka juga lemah dalam catatan sejarah kehidupan karena pengalaman mereka masing-masing.  Namun Allah meninggikan mereka dengan kelahiran anak-anak mereka.  Nama mereka tercantum di daftar silsilah untuk menunjukkan bahwa dalam silsilah Sang Mesias pernah hidup orang-orang yang tersisih, orang asing dan bahkan orang yang melakukan dosa.  Namun ketika Allah mulai turut campur tangan dalam sejarah hidup mereka dan mereka berani meninggalkan masa lalu untuk berjalan di jalan yang benar, nama mereka dipulihkan.  Mereka yang tidak diperhitungkan, malah akhirnya terhitung dalam sejarah Sang Mesias.  Dibalik semua itu ada Allah yang bekerja keras mengubah kehidupan manusia. Saudaraku, selama manusia masih diberi kesempatan hidup di dunia, sejarah hidupnya masih terus dituliskan dan sangat prematur bila menjatuhkan vonis tertentu.  Bisa saja manusia suatu saat terjerembap dalam kubangan dosa, salah memilih jalan hidup, keliru memilih teman, dan lain-lain.  Sejarah hidupnya menjadi gelap dan kelam.  Sebagai sesama, kadang rasanya tidak sabar melihat orang itu tidak segera keluar dari kubangan dosa dan bahkan dengan bangga meneruskan jalannya yang salah.  Akhirnya vonis dijatuhkan : tidak ada harapan baginya dan tersingkirlah dia dari hitungan orang berhasil. Namun bagi Allah, selama manusia masih bernafas, kesempatan itu masih diberikan-Nya.  Allah bisa berkarya dengan untuk mengubah  apa yang tidak diperhitungkan manusia sanggup untuk masuk hitungan.  From zero to hero.  Apa yang kelam, diubah menjadi terang.  Mendung akan berlalu dan terang mengusir kegelapan itu.  Bila seorang menyadari dan mau menerima anugerah Allah,  ia akan mampu menjalani hidup dalam kebenaran dan mengusir kegelapan dalam hidupnya.  Sebagaimana pujian Maria : “Jiwaku memuliakan Tuhan … sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya” (Lukas 1:46, 48).  Ya, Allah sanggup melakukan itu : Meninggikan orang yang rendah dan tidak masuk hitungan.   Oleh karena itu renungkanlah : Apakah saya saat ini ada dalam status tidak diperhitungkan? Beranikah saya mempercayai bahwa anugerah Allah sanggup memulihkan kondisi saya yang terpuruk? Beranikah saya meninggalkan jalan kekelaman dan berjalan dalam kebenaran? Selagi masih ada kesempatan, semua bisa berubah sesuai kehendak Allah. Terpujilah Allah Sang Maha Bijaksana. (Ag)

GALILEA? MENGAPA TIDAK?

Saudaraku, tidak banyak orang yang mau mengangkat nama daerah yang kecil, tidak dikenal dan bahkan tidak memiliki reputasi yang baik.  Namun Allah memilih menggunakan daerah itu untuk menjadi bagian dari rencana penyelamatan agung.  Mari hari ini  kita melanjutkan belajar dari Injil Matius dengan merenungkan Matius 2:19-23. Ketika Yusuf ayah Yesus disuruh Allah untuk membawa kembali keluarganya dari pengungsian di Mesir, ia memilih Galilea sebagai tempat domisilinya karena alasan keamanan, karena Arkhelaus telah menjadi Raja baru di Yudea dan ia dikenal sebagai raja yang memberatkan hidup rakyat. Keluarga ini memulai kehidupan baru di kota itu hingga Yesus dewasa sehingga Ia menyandang status sebagai Orang Nazaret (Matius 2 : 24) atau Orang Galilea (Yohanes 1:46, Yohanes 7: 41, Yohanes 7 : 52). Dikenal sebagai orang Galilea tidak terlalu menyenangkan karena pada masa Yesus hidup, orang Yahudi Galilea dikenal sebagai orang yang kurang terdidik dan kurang terhormat dibandingkan daerah lain.  Galilea juga menjadi tempat pertemuan berbagai bangsa, sehingga kerohanian orang Yahudi asal Galilea diragukan.  Walaupun begitu, Allah mengizinkan Yusuf membawa-Nya ke Galilea, daerah yang dianggap sinis oleh orang Yahudi sendiri.  Bahkan Yesus tidak keberatan dibesarkan di daerah itu, di Nazaret. Ada dua hal yang bisa direnungkan dari ayat-ayat ini : Allah tidak dibatasi oleh stereotipe buatan manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, stereotipe adalah prasangka yang didasarkan pada penilaian atau anggapan berdasarkan perilaku orang lain.  Seperti Yesus yang berasal dari Galilea, maka Natanael yang sangat Yahudi itu menyikapi sinis saat pertama bertemu dengan-Nya (Yohanes 1:46).  Natanael berpikir Yesus akan sama dengan Yahudi Galilea yang lain, padahal Yesus berbeda.  Mengapa Yesus tidak dibesarkan di Provinsi Yudea saja supaya lebih mudah bagi-Nya mengabarkan tentang Kerajaan Allah?  Karena stereotipe tidak dapat membelenggu karya Allah untuk menyelamatkan manusia. Allah tidak menciptakan stereotipe maka Ia tidak dibatasi olehnya.  Buktinya hingga akhir hayatnya Natanael yang juga Bernama Bartolomeus itu tetap mengikut Yesus sampai akhir dan bahkan menurut tradisi gereja ia meninggal sebagai martir.  Apa yang dianggap tidak layak, bisa menjadi alat yang baik untuk Kerajaan Allah. Yesus tidak keberatan memulai pekerjaan dari Nazaret. Walaupun sepertinya orangtuanya mengambil keputusan yang darurat saat memilih Nazaret untuk menjauhi Raja Arkhelaus, namun ternyata memang itu adalah bagian dari rencana Tuhan.  Penghinaan terhadap Galilea tidak akan menyurutkan rencana Allah yang besar untuk umat manusia.  Allah mampu untuk memakai apa yang dianggap hina untuk sebuah karya yang besar. Dari perenungan ini ada beberapa hal yang bisa dipikirkan bersama : Apakah kita masih terkungkung dengan stereotipe dan menilai sesama berdasarkan hal itu? Yakinkah kita bahwa Tuhan sanggup mengangkat yang hina menjadi yang mulia? Beranikah kita menanggalkan stereotipe dan menilai sesame dengan anugerah Allah? Kiranya apa yang dilakukan Allah membuat kita mengikuti jejak-Nya dan memberanikan kita untuk lepas dari belenggu stereotipe dalam menilai diri sendiri dan orang lain. Tuhan memberkati. Selamat bertumbuh dewasa.  (Ag)

Be Careful in Life

PEDANG. Wikipedia mencatat bahwa pedang adalah sejenis senjata tajam yang memiliki bilah panjang. Pedang dapat memiliki dua sisi tajam atau hanya satu sisi tajam saja. Di beberapa kebudayaan, jika dibandingkan senjata lainnya, pedang biasanya memiliki prestise lebih atau paling tinggi. Bilah pedang biasanya dibuat dari logam keras seperti besi atau baja. Meskipun terdapat pedang dari emas, itu hanya digunakan sebagai hiasan saja. Untuk latihan, biasanya pedang berbahan kayu yang digunakan, meski pedang dari kayu yang keras masih berbahaya. Senjata serupa pedang dan tombak yang menggunakan bilah obsidian (batu kaca vulkanik) digunakan oleh suku-suku asli Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang pada saat kolonisasi Eropa belum mengenal logam. Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Yehezkiel dengan topik: “Be Careful in Life (Berhati-hatilah dalam Hidup)”. Bacaan Sabda diambil dari Yehezkiel 21:1-27. Sahabat, kitab Yehezkiel 21  adalah bagian dari kitab Yehezkiel dalam Alkitab Ibrani dan  Perjanjian Lama  di Alkitab Kristen.  Berisi perkataan nabi (dan juga iman)  Yehezkiel bin Busi, yang turut dibawa ke dalam pembuangan oleh Kerajaan Babilonia pada zaman raja Yoyakhin dari Kerajaan Yehuda dan raja Nebukadnezar dari Babel sekitar abad ke-6 SM. Sahabat, jika satu bangsa berperang dengan bangsa lainnya, maka persentase menang 50:50. Bagaimana jadinya apabila Allah berperang melawan bangsa Israel? Bacaan kita pada hari  ini merupakan kelanjutan dari Yehezkiel  20:45-49 yang berbicara tentang kehancuran bangsa dan tanah Israel. Jika dalam bacaan sebelumnya, murka Allah dilukiskan dengan kiasan “api” (Yehezkiel 20:47), maka dalam bacaan kita pada hari ini amarah Tuhan digambarkan seperti  “pedang pembunuh” (Ayat 14). Istilah “api” dan “pedang” memiliki fungsi yang sama, yakni memusnahkan dan membunuh. Allah menggunakan kata “pedang” untuk memperlihatkan bahwa diri-Nya mengangkat bendera perang. Artinya, Allah akan melenyapkan umat-Nya, baik orang benar maupun orang fasik (Ayat 1-5, 8-10). Cara Allah membinasakan umat-Nya dengan memakai kerajaan Babilonia (Ayat 18-25). Allah memakai tangan Si Pembunuh, yaitu raja Babel, menjadi pedang penghakiman dan kematian bagi umat Israel (Ayat 11). Tajamnya pedang Allah diibaratkan berkilau seperti petir (Ayat 10, 15). Sahabat, begitu hebatnya penderitaan yang bakal dialami bangsa Israel, Allah memerintahkan Yehezkiel mengerang kesakitan (Ayat 6) dan berkabung (Ayat 12). Sebab pedang kematian Allah akan membabat orang-orang fasik (Ayat 13, 15-16). Allah melakukan pembersihan sampai tuntas agar tidak ada satu pun kefasikan yang tersisa bagi bangsa Israel (Ayat 26). Walau seluruh wilayah Israel telah dihancurkan Allah menjadi puing-puing, namun Ia mampu membangun kembali kerajaan Daud dari timbunan puing tersebut. Kerajaan itu Allah titipkan untuk sementara waktu bagi mereka yang setia kepada-Nya sampai tiba ahli waris yang sejati untuk mengambil alih kuasa dan memerintah kerajaan tersebut (Ayat 27). Sahabat, Allah kita murah hati dan panjang sabar. Meski demikian, Ia tidak pernah menolerir orang yang terus-menerus hidup dalam kubangan dosa. Sebab akan tiba saatnya Allah akan mendatangkan hukuman atas mereka yang nyaman dalam keberdosaan. Sekali murka-Nya menimpa kita, maka kehidupan kita akan diluluhlantakkan tanpa ampun. Karena itu, BERHATI-HATILAH  kita DALAM HIDUP, berbicara, dan berperilaku. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu pada hari ini? Apa yang Sahabat pahami tentang pedang dalam bacaan kita? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Jika kita terus-menerus berbuat dosa, maka jangan kaget apabila murka-Nya menimpa kita. (pg).