BERBALIKLAH KEPADA ALLAH

Setiap orang yang mengalami kejatuhan, membutuhkan kekuatan untuk bangkit kembali.  Betapa pentingnya kepastian untuk dapat bangkit dan menata kembali kehidupan.  Betapa pentingnya harapan bagi mereka yang telah jatuh dan tergeletak.  Firman Tuhan kepada orang-orang Israel dalam pembuangan adalah  “Kembalilah, hai anak-anak yang murtad, Aku akan menyembuhkan kamu dari murtadmu.” (Yeremia 3:22a, TB).  Mari renungkan ayat ini bersama-sama. Dr. Martin Luther King Jr., seorang tokoh perjuangan hak-hak sipil di Amerika Serikat, menyampaikan pidatonya yang legendaris yaitu, “I Have a Dream.” (aku punya mimpi). Dalam pidato itu, Dr. King tidak hanya mengungkapkan kesedihan atas ketidakadilan yang terjadi, tetapi juga harapan besar akan masa depan yang lebih baik. Dalam pergumulannya, ia percaya bahwa setiap air mata perjuangan tidak akan sia-sia jika diiringi iman dan pengharapan kepada Tuhan. Yeremia 3:22 yang menjadi perenungan kita merupakan seruan kasih Allah kepada umat-Nya yang telah jauh dari jalan kebenaran. Dalam konteks ini, air mata yang membawa pengharapan lahir dari hati yang remuk dan penuh penyesalan atas dosa. Pertobatan sejati tidak hanya menitik-beratkan pada air mata penyesalan, tetapi juga memupuk komitmen untuk kembali kepada Tuhan. Sebagaimana dua sisi mata uang, air mata pun memiliki dua makna: satu sisi menggambarkan kepedihan, sementara sisi lainnya menjadi tanda lahirnya harapan baru. Sama seperti Dr. King percaya bahwa perjuangan dan air mata tidak sia-sia, demikian pula dengan kita. Ketika kita datang kepada Tuhan dalam pertobatan, air mata kita menjadi benih untuk perubahan hidup yang lebih baik. Adven merupakan momen pengharapan, di mana kita tidak hanya menanti kedatangan Kristus, tetapi juga membuka hati untuk pembaruan hidup. Allah rindu menyembuhkan hati yang terluka dan memulihkan mereka yang murtad. Dia menjanjikan pengharapan, seperti terang yang muncul setelah gelapnya malam. Pertanyaannya yaitu, apakah kita bersedia untuk kembali kepada-Nya?  (sTy)

BUAH PERTOBATAN YANG NYATA

Pertobatan adalah titik balik dari seorang yang merespon panggilan Allah yang harus dinyatakan dengan perubahan hidup sebagaimana Matius 3:8 mengatakan,”Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan.”  Mari kita renungkan. Ibu Teresa pernah berkata, “Not all of us can do great things. But we can do small things with great love” (Tidak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar. Tetapi kita bisa melakukan hal-hal kecil dengan kasih yang besar). Prinsip ini mengingatkan kita bahwa hidup yang berubah karena pertobatan terlihat melalui tindakan kecil namun penuh kasih. Pertobatan sejati bukan hanya sebuah pengakuan, tetapi sebuah transformasi nyata yang berdampak bagi sesama. Yohanes Pembaptis, menyerukan agar setiap orang menghasilkan buah yang nyata dari pertobatan mereka. Ini merupakan panggilan untuk meninggalkan kehidupan lama yang berpusat pada diri sendiri dan mulai hidup sesuai dengan kehendak Allah: mengasihi, melayani, dan berbuat adil.  Misalnya, seseorang yang sebelumnya penuh amarah, setelah bertobat mulai menampilkan kesabaran dan pengampunan. Atau, seorang pekerja yang biasanya mengabaikan tanggung jawab mulai bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh. Buah pertobatan terlihat dalam setiap keputusan dan tindakan kita yang memuliakan Allah.   Masa Adven merupakan kesempatan untuk bertanya pada diri sendiri: Apakah hidup saya sudah mencerminkan kasih Allah? Adakah orang-orang di sekitar saya yang telah merasakan kasih dan kebaikan melalui perubahan dalam hidup saya?  Mari wujudkan pertobatan dalam perbuatan sehingga hidup orang percaya memiliki dampak yang nyata dan memuliakan nama Tuhan. (sTy)

AIR MATA YANG MEMBAWA PENGHARAPAN

Manusia membutuhkan kontak sosial dengan sesamanya. Selain untuk memenuhi kebutuhan untuk menjalin relasi namun juga untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk dapat merasakan penerimaan dan mengaktualisasikan dirinya.  Relasi adalah seni, berjalan dinamis dan butuh disikapi dengan bijak agar dapat berkembang dan memberi dampak positif.  Demikian juga dengan relasi manusia dan Tuhan.  Mari renungkan Yoel 2:12-13 (TB)  “Tetapi sekarang juga,” demikianlah firman TUHAN, “berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.” Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat yang dikenal bijak, pernah berkata dalam sebuah pidatonya, “Saya sering kali berlutut untuk berdoa karena saya merasa tidak ada tempat lain untuk berpaling.” Dalam masa-masa sulit, Lincoln tidak malu meneteskan air mata dan mencari Tuhan untuk bimbingan. Air mata itu bukan hanya luapan emosi, tetapi tanda ketergantungan total kepada Tuhan yang penuh kasih. Air mata yang lahir dari hati yang hancur di hadapan Tuhan memiliki kekuatan besar. Nabi Yoel menyerukan umat Israel untuk tidak hanya melakukan ritual pertobatan yang tampak dari luar saja, tetapi untuk sungguh-sungguh datang kepada Tuhan dengan hati yang koyak. Firman Tuhan mengajarkan bahwa pertobatan sejati tidak hanya terlihat dari tindakan saja, tetapi juga dari sikap hati yang tulus. Dalam kehidupan kita, mungkin kita sering kali berusaha menutupi dosa atau kesalahan dengan “ritual” yang tampak baik di mata orang lain. Namun, Tuhan melihat hati kita. Dia tidak mencari air mata tanpa makna, tetapi tangisan yang lahir dari penyesalan hati yang mendalam dan kerinduan untuk berubah. Abraham Lincoln mencari Tuhan dengan air mata karena dia tahu, hanya Tuhan yang dapat memberikan kekuatan di tengah kesulitan. Begitu pula, kita dipanggil untuk datang kepada Tuhan tanpa rasa takut atau malu. Dia rindu memulihkan kita. (sTy)

BERITA PEMBEBASAN

Saudaraku, satu berita yang sangat dinantikan penderita covid adalah saat dinyatakan dokter sembuh dan boleh kembali kepada keluarga.  Berita itu sangat memotivasi, memunculkan gairah dan semangat hidup sehingga mempercepat pemulihan sang penderita yang sudah berhari-hari menjalani karantina dan terpisah dengan keluarga.  Betapa pentingnya sebuah berita yang baik.  Mari renungkan Yesaya 61:1-3. Orang Israel sedang dalam masa pembuangan dan lama berkabung karena merasa ditinggalkan dan dibuang oleh Tuhan yang sedang marah berat.  Namun dalam masa putus asa itu muncullah berita yang luar biasa yaitu pembebasan Israel yang diinisiasi oleh Allah sendiri.  Yesaya 61:1 menyatakan empat jenis orang yang menderita, yaitu mereka yang : Sengsara , yaitu mereka yang mengalami penindasan, penghisapan, direndahkan, dirundung. Remuk hati, yaitu mereka yang mengalami luka batin, patah hati dan kehilangan harapan karena dikecewakan dan dikhianati.  Tertawan, yaitu mereka yang kehilangan kebebasan untuk menentukan hidupnya dan tak mampu melawan aturan yang merugikannya. Terkurung, yaitu mereka yang ‘dipasung’ dan dibungkam sehingga tak mampu memperjuangkan dirinya sendiri. Keempatnya menunjukkan kondisi yang buruk dan memprihatinkan dalam kehidupan manusia.  Tak ada manusia yang memilih untuk masuk dalam salah satu situasi di atas namun pada kenyataannya kehidupan membuat manusia harus mengalaminya.  Tak jarang manusia menyerah dengan keadaan.  Ada yang menjadi skeptis, apatis dan bahkan dalam kondisi ekstrim mereka bisa bunuh diri.  Maka kabar baik adalah sebuah berita pengharapan yang membuka celah bagi manusia tertindas untuk dapat melihat belas kasihan Tuhan atas mereka.  Mereka yang remuk hati akan dipulihkan, yang tertawan akan dibebaskan, yang terkurung akan dilepaskan.  Inilah saat tahun rahmat yang menegakkan kembali kepala mereka yang terkulai putus asa agar semua bangsa melihat kasih karunia Allah yang menguatkan mereka yang lemah. Natal adalah kabar baik dan berita yang penuh harapan di tengah penderitaan manusia.  Kabar itu adalah kabar Allah yang hadir dalam kegelapan untuk memusnahkan kegelapan itu, memberikan pengharapan dan sukacita bagi mereka yang memerlukannya.  Natal adalah berita pembebasan.  Mari dengarkan dan terus mempercayai berita pembebasan dari Allah. Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

SUARA DI PADANG GURUN

Yohanes Pembaptis merupakan tokoh fenomenal pada jamannya dan menarik sekali untuk merenungkan seruannya.  Mari renungkan Markus 1:2-4 yang berkata,  “Seperti ada tertulis dalam kitab nabi Yesaya: ‘Lihatlah, Aku menyuruh utusan-Ku mendahului Engkau, ia akan mempersiapkan jalan bagi-Mu; ada suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya,’ demikianlah Yohanes Pembaptis tampil di padang gurun dan menyerukan: ‘Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu.”  Mahatma Gandhi pernah mengatakan:, ” You must be the change you wish to see in the world .” (Kamu harus menjadi perubahan yang kamu harapkan untuk dilihat dunia).  Ungkapan ini bermakna bahwa perubahan dunia dimulai dari diri sendiri.  Demikian juga dengan Yohanes Pembaptis memanggil orang-orang pada saat itu untuk bertobat. Ia menyerukan perubahan yang lahir dari hati yang berserah kepada Allah. Ketika Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan di padang gurun, ia sebenarnya mengundang umat untuk meninggalkan dosa dan mempersiapkan hati menyambut kedatangan Mesias. Dan padang gurun itu merupakan tempat sunyi dan tandus, melambangkan kondisi hati manusia yang jauh dari Allah. Namun,  di tempat seperti itu pula suara panggilan Allah justru terdengar lebih jelas. Hidup dalam pertobatan berarti bersedia merendahkan diri, mengakui dosa, dan memberi ruang bagi Allah untuk mengubah hidup kita. Pertobatan tidak hanya soal merasa bersalah, tetapi sebuah komitmen untuk berjalan di jalan yang benar. Sama seperti Yohanes yang mempersiapkan jalan bagi Tuhan Yesus, kita dipanggil untuk menjadi suara di tengah dunia yang sering kali lupa akan kasih Tuhan. Mari kita jadikan masa Adven ini waktu untuk memeriksa hati kita. Apakah ada jalan yang perlu diluruskan? Adakah dosa yang belum kita akui? Jangan tunda untuk bertobat, karena Allah rindu kita kembali kepada-Nya. (sTy)

HIDUP DALAM PERTOBATAN

Memasuki Adven ketiga, mari bersama renungkan Mazmur 51:8-10 yang berbunyi:  “Biarlah aku mendengar kegirangan dan sukacita, biarlah tulang yang Kauremukkan bersorak-sorak kembali! Sembunyikanlah wajah-Mu terhadap dosaku, hapuskanlah segala kesalahanku! Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” Nelson Mandela, seorang tokoh dunia yang dikenal karena perjuangannya melawan apartheid , pernah berkata, “Aku tidak bisa memperbaiki masa lalu, tetapi aku bisa menggunakan hidupku untuk menginspirasi masa depan.” Setelah bertahun-tahun dipenjara, Mandela tidak menyimpan dendam terhadap mereka yang menganiayanya. Sebaliknya, ia memilih jalan rekonsiliasi dan membangun kembali hubungan di negaranya. Ini merupakan contoh hati yang dipulihkan—sebuah hati yang tidak hanya berdamai dengan masa lalu, tetapi juga membangun sesuatu yang baru dan lebih baik. Daud dalam Mazmur 51 menunjukkan bahwa pemulihan dimulai dari pengakuan dosa dan pertobatan sejati. Daud menyadari kesalahannya yang besar dan memohon agar Tuhan menciptakan hati yang baru di dalam dirinya. Hati yang dipulihkan memungkinkan kita untuk hidup dalam kebebasan rohani, penuh kasih, dan sukacita. Hati yang dipulihkan merupakan hati yang menyadari kelemahannya. Lalu Mengakui dosa merupakan langkah awal untuk pemulihan. Kemudian memohon pembaruan roh. Tuhan tidak hanya menghapus dosa kita, tetapi juga memperbarui roh kita dengan keteguhan iman. Bersukacita dalam keselamatan. Sukacita merupakan bukti nyata dari hati yang dipulihkan. Sebagai orang percaya, kita juga dipanggil untuk terus memperbarui hati kita. Dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, kita dapat merasakan kuasa-Nya yang memulihkan. (sTy)

Kesempatan adalah Anugerah Tuhan

RAJA AHAB. Sahabat, raja Ahab adalah seorang yang tidak bisa menghargai anugerah Allah. Ahab adalah salah seorang raja yang semakin jahat dalam sejarah Israel, dimulai pada masa pemerintahan Yerobeam. Raja Ahab  melakukan lebih banyak kejahatan di mata TUHAN daripada siapa pun sebelum dia (1 Raja-raja 16:30).  Di antara peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam kehidupan Ahab yang menyebabkan kejatuhannya adalah pernikahannya dengan seorang perempuan jahat bernama Izebel yang sangat membenci umat Allah (1 Raja-raja 18:4). Karena pernikahannya dengan seorang perempuan kafir, Ahab mengabdikan hidupnya untuk menyembah dewa-dewa palsu, Baal dan Asyera di Israel (1 Raja-raja 16:31–33). Kejahatan Raja Ahab dilawan oleh nabi Elia yang memperingatkan Ahab akan datangnya penghakiman jika dia tidak menaati Tuhan. Ahab menyalahkan Elia karena mendatangkan masalah atas Israel (1 Raja-raja 18:17), namun sesungguhnya promosi penyembahan berhala yang dilakukan Ahab-lah yang menjadi penyebab sebenarnya dari kelaparan selama tiga setengah tahun (1 Raja-raja 18:18).  Dalam konfrontasi dramatis antara nabi-nabi palsu,  Elia dan Ahab, Allah membuktikan kepada Israel bahwa Dia, bukan Baal, adalah Allah yang benar (1 Raja-raja 18:16-39). Semua anak buah Baal pimpinan Ahab dibunuh pada hari itu (1 Raja-raja 18:40). Raja Ahab juga tidak menaati perintah langsung Tuhan untuk menghancurkan Ben-Hadad,  raja Aram. Tuhan mengaturnya agar Ahab bisa memimpin Israel menuju kemenangan, namun Ahab membuat perjanjian dengan raja yang seharusnya dia bunuh (1 Raja-raja 20). Oleh karena itu, Tuhan memberi tahu Ahab melalui seorang nabi yang tidak disebutkan namanya, itu adalah nyawamu untuk nyawanya, umatmu untuk umatnya (1Raja-raja 20:42). Mari kita membaca dan merenungkan 1 Raja-raja 20:35-43 dengan berfokus pada ayat 42. Sahabat, kesempatan merupakan salah satu bentuk anugerah yang diberikan Tuhan. Namun, tidak semua orang dapat melihat kesempatan sebagai peluang untuk memuliakan Tuhan. Sering kali kesempatan yang hadir di depan mata terbuang percuma karena kedegilan hati kita. Ahab adalah raja yang kisahnya dicatat sampai beberapa pasal di dalam Alkitab. Padahal dia adalah raja yang paling jahat di mata Tuhan jika dibandingkan dengan raja-raja Israel lain yang juga berbuat jahat. Tuhan terus memberikan kebaikan dan kesempatan kepadanya, tetapi ia melakukan kebodohan dengan melepaskan Benhadad, orang yang sudah dikhususkan Tuhan untuk ditumpas. Akibatnya, Tuhan memberi hukuman kepada Ahab (Ayat 42). Sang Nabi menyatakan bahwa ia telah gagal dalam bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan kepadanya untuk menjaga tawanan di medan pertempuran (Ayat 39 dan  40). Ahab memberikan jawaban bahwa sudah seharusnya orang yang lalai dengan tugasnya itu menanggung akibatnya (Ayat 40). Ahab menjadi galau ketika sang nabi menunjukkan siapa dirinya dan maksud dari gambaran yang dikemukakannya (Ayat 43). Sahabat, Ahab tidak mempergunakan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya dengan baik. Orang yang berniat membinasakan umat Allah dan menjadikan kotanya sebagai puing-puing justru dijadikan sebagai sekutu. Ahab sibuk mengurus kemungkinan-kemungkinan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak. Ia begitu sembrono dalam mengambil keputusan dan menghilangkan kesempatan yang telah diberikan Tuhan. Saat Tuhan menghadirkan kesempatan dalam hidup kita, itu wujud dari kemurahan-Nya. Ketika kesempatan hadir, tanggung jawab kita adalah mengembalikan segala hormat dan kemuliaan hanya bagi nama Tuhan. Sudah semestinya kita berhati-hati dalam menggunakan kesempatan yang diberikan Tuhan. Sahabat, dalam hidup yang kita jalani, apakah kita sudah bertanggung jawab dalam menggunakan setiap kesempatan yang hadir? Ataukah, kita begitu sembrono sehingga tidak memanfaatkannya? Ingatlah KESEMPATAN adalah ANUGERAH TUHAN. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenuganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 42? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Bila kita sudah bisa mengenali dengan jelas kehendak Allah,  kita harus segera menaati kehendak Allah itu tanpa banyak pertimbangan agar kita tidak kehilangan anugerah-Nya.  (pg).

Tetap Percaya dan Berharap

HARAPAN. Sahabat, di awal bulan Desember 2024 saya menyempatkan diri berkomunikasi dengan beberapa teman melalui WA dan telepon. Saya ingin tahu apa yang menjadi harapan mereka di tahun baru 2025. Sebagian besar dari mereka menjawab: Di tahun baru 2025 perekonomian di negara kita dan dunia semakin membaik. Lapangan kerja semakin tersedia bagi Generasi Milenial dan Generasi Z. Semoga  Pilkada Serentak pada tanggal 27 November 2024 menghasilkan  para pemimpin yang mengedepankan NKRI dan kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan ada diantara mereka yang mempunyai harapan agar Timnas Sepakbola kita dapat menjadi salah satu peserta World Cup di tahun 2026. Ada cukup banyak orang memahami harapan sebagai impian belaka, sama seperti ucapan “Saya berharap sesuatu terjadi.” Akan tetapi itu bukan yang dimaksud Alkitab mengenai harapan. Definisi harapan yang alkitabiah adalah “pengharapan yang pasti.” Harapan adalah sebuah bagian dari kehidupan orang benar yang teramat penting (Amsal 23:18). Tanpa harapan, kehidupan kehilangan maknanya (Ratapan 3:18; Ayub 7:6) dan di dalam kematian pun tidak ada harapan (Yesaya 38:18; Ayub 17:15). Orang benar menaruh kepercayaan dan harapannya pada Allah sehingga ia akan dibantu (Mazmur 28:7), dan mereka tidak akan bingung, malu, atau kecewa (Yesaya 49:23). Orang benar, yang mempunyai harapan yang memercayai Allah, mempunyai keyakinan bahwa Allah melindungi dan membantu (Yeremia 29:11) dan mereka bebas dari ketakutan dan kecemasan (Mazmur 46:2-3). Sahabat, ide harapan dalam Perjanjian Baru adalah kesadaran bahwa Kristus telah menggenapi janji Perjanjian Lama (Matius 12:21; 1 Petrus 1:3). Harapan kristiani berakar dalam iman dalam keselamatan illahi pada Kristus (Galatia 5:5). Harapan orang percaya diadakan oleh keberadaan Roh Kudus yang dijanjikan (Roma 8:24-25). Ialah harapan masa depan dimana orang mati dibangkitkan (Kisah Para Rasul 23:6), janji yang diberikan kepada Israel (Kisah Para Rasul 26:6-7), penebusan tubuh jasmani dan semua ciptaan (Roma 8:23-25), kemuliaan yang kekal (Kolose 1:27), kehidupan kekal dan warisan para orang saleh (Titus 3:5-7), kedatangan kembali Kristus (Titus 2:11-14), perubahan/transformasi menyerupai Kristus (1 Yohanes 3:2-3), keselamatan dari Allah (1 Timotius 4:10) atau sederhana saja, Kristus Sendiri (1 Timotius 1:1). Dalam rangka menyambut masa adven di tahun 2024, saya mengajak Sahabat untuk membaca dam merenungkan surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma dengan topik: “Tatap Percaya dan Berharap”. Bacaan Sabda diambil dari Roma 4:18-22 dengan berfokus pada ayat 18. Sahabat,  ketika menjalani hidup ini  terkadang tidak berjalan dengan baik ataupun tidak sesuai dengan yang kita harapkan, ada kalanya mengalami masalah, ataupun tantangan.  Namun tidak perlu takut karena kita memiliki Yesus sebagai sumber pertolongan dan pengharapan. kita perlu percaya serta tetap berharap pada Tuhan saja karena kepercayaan di dalam Dia bukanlah sesuatu hal yang sia-sia, Tuhan akan memperhitungkan semua kepercayaan kita kepada-Nya. Firman Tuhan mengisahkan tentang Abraham yang memiliki kepercayaan serta pengharapan penuh kepada Tuhan, dan menantikan janji Tuhan, sekalipun sudah tidak ada dasar lagi untuk berharap,  namun Abraham terus percaya Tuhan pasti menepati janji-Nya dan memang pada akhirnya menggenapi perjanjian-Nya. Begitu juga saat ini,   walaupun sepertinya sudah tidak ada dasar lagi untuk berharap namun kita harus percaya bahwa Tuhan sanggup untuk melakukan perkara yang ajaib. Jangan pernah melepaskan iman percaya kita, sebab Tuhan bukanlah manusia yang seringkali mengingkari janji. Jangan pernah bimbang, Firman Tuhan  mengatakan mereka yang bimbang tidak akan memperoleh apa pun. Juga dikatakan berbahagialah kita yang tidak melihat namun percaya. sekalipun saat ini kita belum melihat pertolongan Tuhan, tidak perlu khawatir, tetaplah percaya pada waktunya Tuhan pasti akan menolong kita. Di saat kita terus percaya pada Tuhan, maka kita akan melihat kuasa-Nya yang dinyatakan, sebab percaya adalah salah satu kunci untuk melihat dan menikmati mukjizat Tuhan, Sahabat, selain itu, kita juga harus tetap  kuat di dalam pengharapan, sebab hal itu akan  menjadikan kita kuat dalam menjalani hari-hari ke depan. Jangan pernah hilang pengharapan, tidak peduli seberapa lamanya kita berharap pada Tuhan, tetaplah bertekun pada-Nya sampai pengharapan kita mewujud. Jadikanlah pengharapan itu untuk kita meraih janji-janji-Nya. Untuk itu yang dibutuhkan: Tetap percaya kepada Tuhan Yesus saja. Mari di masa raya natal ini kita senantiasa tetap percaya dan berharap pada Tuhan selama-lamanya. Nantikanlah Dia berkarya dalam hidup kita. Tetaplah percaya dan berharap. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang menjadi harapan Sababat saat ini bagi dirimu, keluargamu, dan gerejamu? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati kita: Tetaplah percaya, pada waktunya Tuhan pasti akan menolong kita. (pg).

Saat Kesulitan Menjadi Jalan Menuju Harapan

Tahun 2024 hampir berakhir, dan menjelang Natal  dengan kesibukan persiapan merayakan Natal, ada banyak hati yang merasa berat. Dunia seakan tak pernah kekurangan masalah, dan tahun demi tahun kita menyaksikan begitu banyak orang berjuang dengan kesulitan hidup. Mungkin Saudara atau orang yang Saudara kenal tengah bergumul dengan sakit penyakit yang tak kunjung sembuh, kehilangan orang terkasih, beban pekerjaan yang menumpuk, atau mungkin masalah keluarga yang tak pernah selesai. Tak jarang, di tengah semua ini, kita merasa seolah-olah perayaan yang dirayakan dunia tak lagi relevan dengan kenyataan yang kita hadapi. Di tengah keramaian persiapan Natal, yang menyajikan harapan dan sukacita, banyak hati yang merasa hampa, seakan berlarut dalam kekosongan dan kesedihan. Ada perasaan bahwa harapan itu semakin menjauh, sementara kesulitan dan penderitaan seakan tak kunjung berhenti. Jika Saudara merasa seperti ini,Saudara tidak sendirian. Namun, dalam setiap masalah hidup yang kita hadapi, Alkitab memberikan sebuah pandangan yang mungkin terkesan terbalik dan mengejutkan. Roma 5:3-4 berkata, “Dan bukan hanya itu saja, kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menghasilkan ketekunan; dan ketekunan menghasilkan tahan uji, dan tahan uji menghasilkan pengharapan.” Itu merupakan suatu paradoks yang sulit diterima oleh akal sehat manusia. Mengapa kita harus “bermegah” dalam kesengsaraan? Bukankah kita seharusnya menghindarinya, atau setidaknya mengeluh tentangnya? Pernyataan Rasul Paulus dalam surat itu menyadarkan kita akan kenyataan yang lebih dalam tentang bagaimana Tuhan melihat kesulitan hidup kita. Dia tidak menjanjikan hidup tanpa masalah, tetapi Dia menjanjikan bahwa setiap kesulitan, setiap kesengsaraan, bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, masalah itu adalah bagian dari proses pembentukan karakter yang menghasilkan ketekunan dan ketahanan. Seperti logam yang ditempa dalam api untuk menghilangkan kotoran, begitu pula kesengsaraan kita dipakai Tuhan untuk menyempurnakan iman kita. Pada akhirnya, ketekunan yang teruji akan menghasilkan pengharapan, dan harapan yang tidak pernah mengecewakan. Kita bisa melihat contoh nyata dari orang-orang yang melewati berbagai ujian hidup dan tetap teguh dalam iman. Misalnya, banyak keluarga yang menghadapi kesulitan ekonomi namun tetap bersyukur, terus berdoa, dan menjaga harapan mereka. Beberapa bahkan menemukan kembali tujuan hidup mereka dalam melayani sesama. Mereka mengajarkan kita bahwa, meskipun situasi tidak berubah secara instan, ada suatu kekuatan yang muncul dalam diri mereka: sebuah ketekunan yang meneguhkan, dan akhirnya, pengharapan yang memberi mereka kedamaian di tengah badai. Saudaraku, di dunia yang semakin cepat dan penuh dengan tekanan, kita seringkali merasa terbebani. Di media sosial, kita melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna, penuh dengan kebahagiaan dan kesuksesan. Namun kenyataannya, setiap orang memiliki pergumulannya masing-masing, bahkan meskipun mereka tidak memperlihatkannya. Saat kita melihat kehidupan yang tampak lebih mudah bagi orang lain, kita sering kali tergoda untuk mempertanyakan, “Mengapa saya harus mengalami semua ini?” Namun, jika kita membuka hati untuk mendengar, kita akan menyadari bahwa setiap kisah kehidupan, meskipun berbeda, memiliki pelajaran yang serupa: Kesulitan dan penderitaan bukanlah akhir, tetapi jalan menuju pemulihan dan harapan yang lebih besar. Pada saat kita akan merayakan Natal dan mempersiapkan tahun baru, kita diingatkan bahwa Yesus, yang datang ke dunia sebagai bayi di palungan, juga menjalani hidup yang penuh dengan tantangan dan penderitaan. Kesulitan hidup-Nya, penderitaan-Nya, bahkan kematian-Nya di kayu salib, membawa bagi dunia ini pengharapan yang tak tergoyahkan. Sesungguhnya natal bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga tentang mengingat bahwa Yesus datang untuk memberi kita pengharapan di tengah kegelapan, bahkan ketika segala sesuatu tampak tidak pasti. Saudaraku, tahun baru yang akan datang adalah kesempatan baru untuk melihat hidup dengan perspektif yang berbeda. Mungkin Saudara sedang berada dalam lembah yang dalam, tetapi di sana, di dalam kegelapan itu, ada cahaya yang bersinar, cahaya pengharapan yang tidak tergantung pada keadaan dunia, tetapi pada janji Tuhan. PENGHARAPAN ini tidak sekadar optimisme, tetapi keyakinan bahwa Tuhan bekerja dalam segala sesuatu, termasuk dalam kesulitan dan kesengsaraan kita. Sebagai orang percaya, kita diajak untuk mengubah cara pandang kita terhadap kesulitan. Bukannya menghindarinya atau menyerah pada keputusasaan, kita dipanggil untuk melihat setiap kesulitan sebagai bagian dari proses pembentukan iman yang lebih kuat. Ketekunan yang kita bangun dalam menghadapi kesulitan akan menghasilkan buah pengharapan, Pengharapan yang tidak hanya memberi kita kekuatan untuk bertahan, tetapi juga mengubah kita menjadi pribadi yang lebih matang, lebih penuh kasih, dan lebih bergantung pada Tuhan. Saudaraku, saat tahun baru tiba, mari kita berani untuk menghadapinya dengan sikap yang baru: dengan hati yang penuh harapan, dengan iman yang lebih teguh, dan dengan keyakinan bahwa kesulitan yang kita hadapi hari ini akan menjadi saksi bagi pengharapan yang lebih besar di masa depan. Yakinlah dalam setiap langkah kita, kita tidak pernah berjalan sendirian. Tuhan yang mengiringi kita adalah sumber harapan yang tidak akan pernah mengecewakan. (EBWR)

Memulihkan Kasih yang Telah Hilang

PERAN SEORANG IMAM. Sahabat, seorang imam bertanggung jawab untuk memberikan pengajaran sehingga umat Tuhan tidak binasa dan dapat mengenal Allah. Tetapi sungguh ironis, sebab pada kenyataannya, para imam tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik pada zaman nabi Hosea. Para imam menolak pengenalan akan Allah, dan karenanya mereka gagal menuntun umat Allah. Akibat kegagalan itu pun juga sangat mengejutkan, tidak saja Allah menolak para imam tetapi juga melupakan anak-anak mereka. Hal tersebut setidaknya memberikan peringatan betapa pentingnya bagi kita untuk selalu bersikap rendah hati. Sebagai seorang imam, kita masih perlu pengajaran-pengajaran firman Tuhan yang akan mengajar kita menjadi seorang yang mengenal Tuhan. Rendah hati ketika ditegur akibat kesalahan yang kita buat, jujur mengakui kesalahan, terbuka dan sabar saat dikritik, dan sebagainya. Jika kita seorang yang mengenal Allah dengan benar, maka kita dapat menjalankan tugas keimaman dengan benar. Sahabat, kasus kegagalan para imam dalam kitab Hosea terjadi dalam suatu bangsa. Bila hal itu terjadi dalam sebuah keluarga, apa akibatnya? Siapakah imam dalam keluarga? Bukankah ia adalah ayah (suami) yang dibantu oleh seorang istri? Jika kita gagal menjalankan keimaman dalam keluarga dan tidak bertanggung jawab memberikan pengajaran yang benar kepada anak-anak kita, maka anak-anak pasti berjalan ke arah yang salah. Sesungguhnya sukacita terbesar saat melihat anak-anak kita hidup dalam kebenaran Allah dan tidak dilupakan-Nya. Semoga setiap imam sekaligus sebagai ayah menyadari betapa penting dan sentral peranannya. Mari kita membaca dan merenungkan Hosea 4:1-18 dengan berfokus pada ayat 6.  Sahabat,  Tuhan sangat berduka ketika cinta kasih menghilang dari tengah kehidupan umat yang dikasihi-Nya. Itulah yang dialami bangsa Israel. Mereka adalah umat yang sangat dikasihi-Nya, tetapi justru tega mengingkari perjanjian. Orang-orang yang sejatinya bisa diandalkan untuk merawat perjanjian kasih karunia malah berkhianat, yaitu para imam dan nabi. Mereka tidak menjalankan tugas sesuai dengan panggilannya. Mereka seharusnya mewartakan kasih Tuhan dengan segala kebenaran, kesetiaan, dan keadilan-Nya. Kenyataannya, mereka malah lebih mengutamakan materi. Ironisnya, mereka malah memelopori untuk menolak pengenalan akan Allah. Dengan terang-terangan, mereka malah berselingkuh dengan ilah lain (Ayat 12-14, 17). Sahabat, dalam keadaan seperti itu, cinta kasih berubah menjadi kemurkaan. Ini tampak melalui kisah penghukuman Allah terhadap umat yang meninggalkan-Nya. Hati Allah kian sakit ketika umat-Nya lari kepada para penenung dan berhala di Kanaan (Ayat 12, 13). Mereka mempersembahkan kurban di puncak-puncak gunung dan di atas bukit-bukit. Bahkan, mereka melaksanakannya dengan gembira. Ini tanda bahwa umat kesayangan Tuhan itu lebih mencintai kehinaan daripada Allah sendiri. Mereka seolah tidak tahu, jika meninggalkan Allah berarti berjalan menuju kebinasaan. Mereka tidak sadar, dengan tindakan itu, malapetaka sedang mendekat. Allah dapat mencabut kemuliaan mereka sebagai umat yang disayangi dan membuat mereka terhina dengan menjadikan mereka sebagai bangsa tawanan. Sahabat, lalu bagaimana supaya kasih tidak menghilang dalam kehidupan bersama atau memulihkan kembali kasih yang telah hilang? Pertama, kita harus mengenal Allah, sebab Allah adalah pribadi yang penuh kasih, yang mencintai keadilan, dan kebenaran sehingga akan mendatangkan keyakinan dan keteguhan hati. Kedua, kita harus tinggal dekat dengan Allah. Dengan demikianlah, kasih-Nya akan terjaga dalam persekutuan yang intim dengan Allah. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah! Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini: Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu? Apa yang Sahabat pahami dari ayat 6? Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Pengenalan Akan Tuhan Merupakan Pilar Penting Kehidupan Iman Orang Percaya. (pg)