SAKIT YANG MENGAJARKAN KASIH
Elizabeth Fry (1780–1845) adalah seorang reformator sosial dan aktivis Kristen asal Inggris yang dikenal karena perjuangannya dalam mereformasi sistem penjara. Pada awal abad ke-19, kondisi penjara di Inggris sangat buruk. Tahanan hidup berdesakan dalam sel sempit tanpa sanitasi yang layak, sering mengalami kekerasan, dan tidak mendapatkan perlakuan manusiawi. Ketika pertama kali mengunjungi Penjara Newgate pada tahun 1813, Elizabeth Fry sangat terkejut melihat betapa para tahanan perempuan dan anak-anak hidup dalam kondisi mengenaskan. Namun, bukannya menjauhi tempat itu, ia justru tergerak oleh belas kasih. Ia mulai mengajarkan para tahanan membaca dan menulis, memberi mereka pelatihan keterampilan, serta memperjuangkan pemisahan antara tahanan pria dan wanita. Upayanya menarik perhatian pemerintah Inggris dan mendorong perubahan besar dalam sistem peradilan.
Kasih Elizabeth Fry terhadap mereka yang terbuang tidak muncul dari kehidupan yang mudah. Sebagai seorang wanita di zaman di mana peran perempuan masih terbatas, ia menghadapi banyak tantangan dan penolakan. Namun, imannya kepada Tuhan memberinya kekuatan untuk terus berjuang. Baginya, setiap orang, termasuk para tahanan, memiliki nilai di hadapan Tuhan dan berhak mendapatkan kesempatan kedua.
Kisah Elizabeth Fry mengingatkan kita pada perjalanan hidup Yusuf. Ia dijual oleh saudara-saudaranya, dipenjara secara tidak adil, dan mengalami penderitaan bertahun-tahun. Yusuf tidak membiarkan kepahitan menguasai hatinya, sebaliknya ia tetap percaya bahwa Allah memiliki rencana yang lebih besar sebagaimana dikatakannya kepada kakak-kakaknya yang meminta maaf kepadanya, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (Kejadian 50:20, TB).
Sering kali, kita sulit memahami mengapa kita mengalami penderitaan. Namun, dalam kasih dan rencana Allah, tidak ada penderitaan yang sia-sia. Justru dari luka-luka yang kita alami, Tuhan dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih mengasihi dan lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Seperti Elizabeth Fry dan Yusuf, kita diajak untuk percaya bahwa kasih Allah mampu mengubah setiap luka menjadi berkat. Sakit dan penderitaan bukan akhir dari cerita, tetapi bagian dari rencana Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih mengasihi dan memahami orang lain. Sering kali kesulitan justru menjadi awal dari munculnya belas kasih yang lebih dalam, sebagaimana pepatah mengatakan,”Sebelum mendapatkan air jernih, air keruh harus mengalir lebih dulu.” (sTy)