DENGARKANLAH DIA YANG DIMULIAKAN
Seorang teolog bernama Dietrich Bonhoeffer yang hidup pada masa pemerintahan Nazi Jerman, menghadapi dilema besar. Sebagai seorang Kristen yang taat, ia melihat bagaimana rezim Hitler melakukan kejahatan kemanusiaan termasuk terhadap orang-orang Yahudi. Ia bisa saja memilih diam dan tetap hidup dengan nyaman di Jerman atau di pengasingan, tetapi hatinya tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan. Bonhoeffer akhirnya mengambil keputusan berani yaitu menentang Nazi, berbicara melawan kebrutalan mereka dan bahkan terlibat dalam usaha perlawanan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjara. Dalam surat-suratnya dari penjara, ia menulis: “Bukan karena nasib, melainkan dari kebebasan dan kemurnian sebuah pandangan hidup yang disiplin, kita tunduk pada panggilan Tuhan”. Baginya, mendengar dan menaati suara Tuhan jauh lebih penting daripada suara dunia, bahkan jika itu berarti ia harus kehilangan nyawanya sekalipun. Kesetiaannya kepada suara Tuhan membawanya pada akhir hidup yang tragis, ia dihukum mati di tiang gantungan pada tahun 1945, hanya beberapa minggu sebelum Perang Dunia II berakhir.
Kisah Bonhoeffer mengingatkan kita pada peristiwa transfigurasi Yesus di gunung. Saat Yesus berubah rupa di hadapan Petrus, Yakobus, dan Yohanes, suara Allah Bapa terdengar dari dalam awan,”Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia!” Markus 9:7 (TB). Ini bukan sekadar nasihat semata melainkan sebuah perintah langsung. Tuhan memanggil kita untuk menjadikan suara Tuhan Yesus sebagai otoritas tertinggi dalam hidup kita. Faktanya sering kali kita lebih mudah mendengar suara dunia: ambisi, kekhawatiran, tekanan sosial, dan opini orang lain, daripada mendengarkan suara Tuhan. Kita takut kehilangan kenyamanan, takut dikucilkan atau takut menghadapi konsekuensi yang berat jika memilih menaati Tuhan. Tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh Bonhoeffer, mendengarkan dan menaati Tuhan Yesus merupakan satu-satunya jalan yang benar, meskipun penuh tantangan.
Apakah kita benar-benar mendengarkan Tuhan Yesus hari ini? Ataukah kita lebih memberi prioritas pada suara dunia? Mendengarkan Tuhan Yesus bukan sekadar mendengar firman-Nya, tetapi juga menaati dan melakukan-Nya dalam tindakan nyata. Seperti Bonhoeffer, kita dipanggil untuk tetap setia meskipun menghadapi risiko. Hanya dalam ketaatan kepada Tuhan Yesus, kita menemukan hidup yang sejati. Jangan takut mendengar suara Tuhan, karena dalam setiap Firman-Nya, ada berkat yang tak ternilai.” (sTy)