SUKACITA MENJADI ANAK-ANAK ALLAH
Albert Schweitzer, seorang dokter, teolog, dan musisi terkenal, meninggalkan kehidupannya yang nyaman di Eropa untuk melayani di Afrika. Ketika ditanya mengapa ia rela meninggalkan semua itu, ia menjawab, “Saya tidak melakukan ini untuk penghargaan manusia. Saya melakukannya karena saya tahu saya anak Allah, dan kasih itu memanggil saya untuk membagikannya.” Meski menghadapi kesulitan di lingkungan yang serba terbatas, Schweitzer selalu memancarkan sukacita dalam pelayanannya karena ia tahu hidupnya memiliki tujuan yang kekal.
Sebagai anak-anak Allah, kita telah menerima kasih yang luar biasa kasih yang mengubah segalanya. Ayat ini mengingatkan kita bahwa menjadi anak Allah merupakan status istimewa yang diberikan oleh kasih karunia-Nya, bukan usaha kita. Dunia mungkin tidak memahami panggilan hidup kita, tetapi kita tahu bahwa identitas kita berasal dari Allah sendiri. Sukacita kita tidak ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh hubungan kita dengan Bapa. 1 Yohanes 3:1 mengatakan, “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah. Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia.” Ketika kita memahami betapa besar kasih-Nya, kita akan memiliki kekuatan untuk menghadapi segala situasi dengan hati yang penuh sukacita dan syukur. Seperti Albert Schweitzer, kita dipanggil untuk membagikan kasih itu, bahkan di tempat yang sulit, karena itulah bagian dari hidup sebagai anak-anak Allah.
Sebagai anak Allah, sukacita sejati tidak bersumber dari keadaan, melainkan dari hubungan yang intim dengan Bapa. Kasih-Nya yang besar memberi makna dan kekuatan, bahkan dalam keadaan sulit karena sukacita menjadi anak Allah bukanlah sesuatu yang ditemukan di luar, tetapi lahir dari hati yang mengenal kasih Bapa.(sTy)