+62 24 8312162

Hot Line Number

+62 24 8446048

Fax

Jl. Sompok Lama no. 62c Semarang

Kantor Pusat

Jejak Iman dalam Pengasuhan:Menjadikan Amanat Generasi

Jejak Iman dalam Pengasuhan:Menjadikan Amanat Generasi

Saudaraku, mari kita membaca dan merenungkan 1 Samuel 2:30-36. Di tengah dunia yang terus berubah, setiap orang tua berjuang membesarkan anak-anak mereka dengan segala usaha dan harapan. Namun, satu hal yang kerap terlupakan adalah amanat iman yang perlu diteruskan bagi generasi berikutnya. 

Kita mungkin pernah melihat keluarga-keluarga yang tampak sukses dari luar tetapi rapuh di dalam, terputus dari akar spiritualnya. Sebuah kisah nyata muncul dari seorang pemimpin yang tampak sempurna. 

Anak-anaknya bersekolah di tempat terbaik, dan segala fasilitas disediakan demi masa depan yang cemerlang. Tetapi, di balik semua itu, relasi mereka mulai renggang; sang anak merasa jauh dari nilai-nilai iman yang dulu dipegang keluarganya. Apa yang terjadi?

Ternyata, masalah ini bukanlah sesuatu yang baru. Dalam 1 Samuel 2:30-36, kita menemukan kisah imam Eli dan kedua anaknya, Hofni dan Pinehas. Sebagai imam, Eli seharusnya menjaga kemurnian pelayanan dan menanamkan amanat iman kepada anak-anaknya. Namun, ia membiarkan anak-anaknya menyalahgunakan posisi mereka di bait Allah. Akibat dari kelalaiannya, Tuhan menghukum Eli dan keturunannya. 

Eli yang seharusnya menjadi penjaga iman akhirnya kehilangan warisan rohani itu. Ini bukan hanya kegagalan Eli sebagai ayah, melainkan sebagai pemimpin yang dipercayakan Tuhan untuk memelihara iman. Pengabaian Eli bukanlah kekeliruan sesaat; ini adalah kelalaian terhadap amanat yang berdampak lintas generasi.

Jika kita merenungkan kisah ini, masalah utama bukanlah Eli tidak mengasihi anak-anaknya. Masalahnya adalah ia membiarkan mereka tumbuh tanpa prinsip iman yang kuat. 

Ada cukup banyak orang tua hari ini, seperti Eli, terjebak dalam pemikiran bahwa kasih cukup diwujudkan dalam menyediakan kebutuhan fisik atau pendidikan yang baik. Namun, lebih dari sekadar kebutuhan duniawi, anak-anak membutuhkan fondasi spiritual yang kokoh sebagai landasan hidup. Tanpa landasan ini, mereka mudah hanyut dalam pengaruh dunia yang bisa menjauhkan mereka dari tujuan hidup sejati.

Sebagai orang tua, kita bisa belajar dari kesalahan Eli. Mewariskan iman dan nilai-nilai kehidupan adalah amanat yang tak boleh diremehkan. Amanat ini bukan hanya “menasihati” atau “mengajari”, melainkan menghidupi nilai-nilai iman dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Anak-anak belajar dari teladan, bukan hanya dari kata-kata. Dalam menghadapi dunia yang terus menarik perhatian anak-anak ke berbagai arah, orang tua perlu lebih dari sekadar petuah dan nasihat. Mereka harus menjadi teladan hidup yang nyata, iman yang kokoh dan kasih yang tulus.

Salah satu langkah sederhana adalah membangun kebiasaan beribadah bersama sebagai keluarga, berbagi pengalaman iman, dan mendampingi pertumbuhan spiritual anak dengan penuh perhatian. Berikan mereka kesempatan untuk bertanya, memahami, dan mengalami Tuhan dalam hidup mereka, bukan hanya di dalam ritual. Ketika mereka melihat bagaimana orang tua hidup dalam iman, kesetiaan, dan pengharapan kepada Tuhan, iman itu akan lebih mudah mereka terima dan hayati.

Pengasuhan sebagai amanat generasi membutuhkan ketulusan dan ketekunan. Setiap orang tua adalah perantara yang Tuhan tempatkan untuk menanam benih iman yang abadi dalam diri anak-anaknya. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa memberikan warisan terbaik yang bisa mereka miliki, iman yang kokoh, kasih yang tulus, dan komitmen yang teguh. 

Saudaraku, hidup ini bukan hanya tentang apa yang kita capai, tetapi tentang apa yang kita wariskan kepada generasi mendatang. Melalui kisah Eli, Tuhan memberikan pelajaran yang mendalam; mari kita JAGA JEJAK IMAN  itu agar tidak HILANG, tetapi TERUS HIDUP  dan MENYINARI GENERASI-GENERASI BERIKUTNYA. (EBWR).

Leave a Reply