+62 24 8312162

Hot Line Number

+62 24 8446048

Fax

Jl. Sompok Lama no. 62c Semarang

Kantor Pusat

The Foolish Conscience

The Foolish Conscience

HATI NURANI. Sahabat, dari Wikipedia saya mendapat informasi bahwa hati nurani adalah suatu proses kognitif yang menghasilkan perasaan dan pengaitan secara rasional berdasarkan pandangan moral atau sistem nilai seseorang. Hati nurani berbeda dengan emosi atau pikiran yang muncul akibat persepsi indrawi atau refleks secara langsung, seperti misalnya tanggapan sistem saraf simpatis.

Dalam bahasa awam, hati nurani sering digambarkan sebagai sesuatu yang berujung pada perasaan menyesal ketika seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai moral mereka.

Selanjutnya dari beberapa literatur saya mendapat informasi bahwa hati nurani atau suara hati berperan terutama saat kita mau mengambil sebuah keputusan. Ia dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran moral seseorang dalam situasi yang konkret. Artinya, dalam menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup, ada semacam suara dalam hati kita untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan dan menuntut kita bagaimana merespons kejadian tersebut.

Hati nurani yang baik, dapat menjadi kompas moral dan menuntun kita menjadi pribadi yang berperilaku positif. Sebagai umat beragama, hati nurani ini dipercayai menjadi tempat Tuhan mewahyukan diri secara hidup dalam hati kita. Jadi, hati nurani juga dapat dikatakan sebagai sebuah perasaan moral dalam manusia, yang dengannya dia memutuskan mana yang baik dan jahat, dan mana yang menyetujui atau menyalahkan perbuatannya.

Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab 1 Samuel dengan topik: “The Foolish Conscience (Hati Nurani yang Bebal)”. Bacaan Sabda diambil dari 1 Samuel 15:1-35. Sahabat, kendati hati Saul memberontak kepada Tuhan, Tuhan masih berkenan kepada-Nya. Hukuman yang Tuhan jatuhkan adalah dinasti Saul tidak akan bertahan (1Samuel 12:14). Namun sejauh yang dicatat Alkitab, Saul tidak sedikit pun menunjukkan penyesalan. Ia terus mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama.

Berbeda dengan Samuel yang hingga masa tuanya tetap hidup berintegritas sehingga bisa menjadi teladan bagi umat Israel, Saul tampaknya hanya mengandalkan jabatan dan kekuasaannya. Alih-alih menjadi pemimpin yang tegas bagi umat Israel agar sesuai kehendak Tuhan, Saul malah memilih menjadi pemimpin yang populis dan mengabaikan kehendak Tuhan demi disukai rakyatnya.

Sahabat, dalam kehidupan sehari-hari kita juga seringkali dihadapkan pada pilihan untuk taat pada pimpinan Tuhan atau memilih keuntungan di depan mata. Jika Tuhan sudah mengubah hati kita, maka mengikuti tuntunan Tuhan akan menjadi sesuatu yang alami, bukan lagi pilihan.

Bagi rakyat Israel, bacaan kita pada hari ini memaparkan dengan gamblang kondisi kerohanian mereka yang sesungguhnya. Kehidupan mereka telah menjadi hidup yang menomorsatukan keuntungan duniawi, sehingga tanpa berpikir panjang umat beramai-ramai mengabaikan perintah Tuhan dan menyimpan barang jarahan.

Sahabat, kegagalan Saul menjalankan fungsinya sebagai raja yang seharusnya dengar-dengaran pada pimpinan Tuhan dan memimpin umat Tuhan untuk tetap taat kepada-Nya, telah menjadi sedemikian parah sehingga Tuhan menolaknya. Ketidakpekaan terhadap pimpinan Tuhan yang diteladankan oleh Saul telah merasuki sendi-sendi kehidupan umat Israel sehingga mereka tak lagi bisa mengenal apa yang benar dan apa yang salah.

Samuel sebagai pemimpin yang hidup dekat Tuhan merasa sakit hati atas apa yang terjadi (Ayat 11). Sementara Saul, bahkan setelah ditolak oleh Tuhan, lebih mementingkan gengsinya di hadapan publik, alih-alih menunjukkan pertobatan yang sungguh (Ayat 30). Jika Tuhan menegur, baiklah kita peka. Jangan biarkan hati kita perlahan-lahan menjadi semakin kebal terhadap suara-Nya. Jangan sampai hati nurani kita menjadi bebal. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah!

Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:

  1. Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu?
  2. Apa yang Sahabat pahami dari ayat 22-24?

Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Hendaknya kita menyadari bahwa kesombongan merupakan  dosa besar yang membuat telinga hati kita menjadi tuli sehingga tidak bisa mendengar suara Allah. (pg).


Leave a Reply