+62 24 8312162

Hot Line Number

+62 24 8446048

Fax

Jl. Sompok Lama no. 62c Semarang

Kantor Pusat

PILIHAN PILATUS

PILIHAN PILATUS

Saudaraku, saat paskah tiba maka nama Pilatus menempati urutan tokoh antagonis kisah Paskah.  Banyak pihak menyayangkan kepengecutan Pilatus. Namun mari berpikir lagi:  Mengapa Pilatus mencuci tangan terhadap kasus Yesus?  Mari kita merenungkan Matius 27:1,2,11-26.

Pilatus merupakan politisi yang berpengalaman. Ia tahu bahwa Yesus adalah korban kebencian para rohaniwan Yahudi (Matius 27:18).  Pilatus juga tahu bahwa orang Yahudi sangat sensitif dengan agamanya dan bersikap agresif terhadap tindakan yang digolongkan penistaan agama.  Pilatus memang bukan politisi bersih dan ia sebenarnya enggan terlibat dengan kasus-kasus orang Yahudi.  Pendekatan kekerasan sering dipakainya untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pemerintahan Romawi di  Yudea. 

Namun Pilatus melihat bahwa Yesus adalah korban kebencian orang Yahudi dan ia ingin membebaskannya.  Inilah yang mengherankan.  Pilatus menerima pesan dari istrinya tentang Yesus dan ini menunjukkan bahwa bagi Pilatus yang korup dan kotor dalam politik pun, sebenarnya Allah membuka kebenaran di depan matanya.  Posisinya menjadi kunci pengungkapan kebenaran dan pembebasan korban konspirasi pemimpin Yahudi.  Namun sayang Pilatus memilih tidak ikut campur dengan situasi kritis itu dengan pertimbangan:

  1. Keamanan posisi di hadapan Kaisar.

Situasi saat itu sudah kacau dan mulai mengarah pada kerusuhan.  Walaupun Pilatus sudah memberikan pilihan yang sangat kontras antara Yesus dan Barabas, massa lebih memilih Barabas dibanding Yesus.  Laporan kinerja Pilatus sudah merah di hadapan Kaisar, maka ia tidak ingin kasus ini menggeser posisinya sebagai pejabat di Yudea.  Istrinya sendiri juga menyuruhnya lepas tangan untuk mengamankan posisinya. Untuk menjaga situasi kondusif, ia melepaskan Yesus kepada massa.

  • Merasa sudah memperingatkan orang Yahudi

Pilihan untuk membebaskan Barabas atau Yesus adalah upayanya untuk menyatakan sikap.  Ia merasa hanya mampu berjuang sampai di titik itu.  Ia enggan memperjuangkan Yesus lebih serius karena kondisi yang genting, walau ia tahu kebenaran kasus ini.  

Saudaraku, Pilatus bukan pengecut.  Ia hanya seorang yang lebih mementingkan kepentingan dirinya sehingga kurang gigih berusaha memperjuangkan kebenaran.  Peristiwa pencucian tangan tidak hanya menunjukkan rasa putus asa, namun juga rasa tidak berdaya menghadapi kekuatan massa.  Pilatus masih bisa menyelamatkan Yesus seandainya ia merespons kebenaran, namun ia memilih menyelamatkan posisinya.  Itulah pilihannya.

Kadangkala orang Kristen dihadapkan pada pilihan yang sulit yang menyangkut orang lain.  Rasul Paulus mengatakan: “Sedapat-dapatnya kalau hal itu tergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18).  Perdamaian perlu diusahakan bukan hanya ditunggu. 

Ketika menjadi posisi kunci, orang Kristen perlu berjuang untuk menjadi pembawa damai.  Berjuang dengan gigih, walau harus menanggung perih.  Diletakkan dalam posisi kunci memang berat tak terkira, namun keberanian untuk mengambil keputusan sesuai Firman Tuhan dengan segala konsekuensinya, akan menjadi jawaban doa bagi seseorang.  Mari berjuang dengan gigih dan belajar memberanikan diri menanggung konsekuensi menjadi pelaku Firman Tuhan.  Selamat bertumbuh dewasa. (Ag)

Leave a Reply