+62 24 8312162

Hot Line Number

+62 24 8446048

Fax

Jl. Sompok Lama no. 62c Semarang

Kantor Pusat

The Difference between Jepthah and Abimelech

The Difference between Jepthah and Abimelech

PERBEDAAN. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perbedaan itu berarti selisih, juga   perihal yang berbeda atau  perihal yang membuat berbeda. 

Sedangkan perbedaan yang akan kita bicarakan dalam renungan kita pada hari ini  adalah hal yang menunjukkan bahwa orang yang satu memiliki sifat yang tidak sama dengan orang yang lainnya. Perbedaan merupakan ketidak samaan sifat, bentuk atau karakter yang dimiliki oleh beberapa orang.

Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Hakim-Hakim dengan topik: “The Difference between Jepthah and Abimelech (Perbedaan antara Yefta dengan Abimelekh). Bacaan Sabda diambil dari Hakim-Hakim 11:1-11. Sahabat, ketika membaca kisah tentang Abimelekh, kita akan melihat kisah seorang anak dari Gideon yang lahir dari seorang gundik yang berasal dari Sikhem. Perilakunya sangat jahat sehingga ia tega membunuh saudara-saudara tirinya demi menggapai kekuasaan.

Sedangkan bacaan kita pada hari ini bercerita  tentang Yefta. Ia seorang anak dari perempuan sundal. Ia mengalami penolakan dua lapis. yaitu dari saudara-saudara yang tidak seibu dan lingkungan tempat kelahirannya. Ia dikenal sebagai seorang pahlawan yang gagah perkasa. Sekalipun sudah diusir, di kemudian hari ia diminta menjadi panglima perang bagi penduduk Gilead untuk melawan bani Amon.

Apa perbedaan antara Yefta dengan Abimelekh? Yefta diberi kekuasaan tanpa harus merebutnya dari orang-orang yang sudah menolak dan mengusirnya. Yefta tidak perlu membunuh saudara-saudaranya agar mendapatkan kekuasaan atas Gilead. Cara Yefta menghadapi konflik sangat bijak. Penulis kitab Hakim-Hakim mencatat: “… Yefta membawa seluruh perkaranya itu ke hadapan TUHAN, di Mizpa” (Ayat 11).

Penulis surat Ibrani mencatat bahwa Yefta merupakan  salah seorang saksi iman seperti tertulis:  “Dan apakah lagi yang harus aku sebut?  Sebab aku akan kekurangan waktu, apabila aku hendak menceriterakan tentang Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud dan Samuel dan para nabi, yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa yang dijanjikan, menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat.”  (Ibrani 11:32-34a).

Sedangkan penulis kitab Hakim-Hakim menulis tentang kematian Abimelekh seperti berikut: “ … seorang perempuan menimpakan sebuah batu kilangan kepada kepala Abimelekh dan memecahkan batu kepalanya. Dengan segera dipanggilnya bujang pembawa senjatanya dan berkata kepadanya: ‘Hunuslah pedangmu dan bunuhlah aku, supaya jangan orang berkata tentang aku: Seorang perempuan membunuh dia.’ Lalu bujangnya itu menikam dia, sehingga mati.”

Sahabat, Yefta bukanlah seorang yang mengandalkan kekuatannya. Ia juga tidak membutuhkan pengakuan atas kemampuannya. Ia tidak menjadi pemimpin karena keluarga, suku, atau kelompoknya sendiri. Ia hanya perlu Tuhan untuk mengukuhkan identitas diri dan segala tindakannya.

Sesungguhnya kisah Yefta mengajarkan sebuah pokok penting tentang panggilan Tuhan dan cara manusia merespons. Seandainya Tuhan memilih kita untuk melaksanakan tugas mulia, sebaiknya bersikaplah dengan cara yang sama seperti Yefta. Jangan sampai kita mengandalkan kekuatan sendiri dan kekerasan seperti Abimelekh. Kita tetap harus rendah hati dengan mengingat bahwa status kita hanyalah alat bagi tujuan dan kemuliaan-Nya.

Sahabat, walaupun ada penolakan dan permusuhan dari dunia, mari kita merespons panggilan Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketaatan. Kita mesti tidak egois, bisa memilah hal terpenting bagi Tuhan dan sesama dalam hidup ini. Haleluya! Tuhan itu baik. Bersyukurlah!

Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:

  1. Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu?
  2. Apa yang Sahabat pahami dari ayat 11?

Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Tuhan sanggup mengubahkan hidup kita dari yang hina menjadi mulia, yang tidak berarti menjadi berarti dan dijadikannya kita berharga di mata-Nya. (pg).

Leave a Reply