A Package of Blessings and Temptations
PERGUMULAN MENDATANGKAN KEDEWASAAN. Mengikuti ucapan-ucapan Ayub sejak awal kitab Ayub hingga akhirnya, kita mendapati ada dinamika dan pergeseran pendapat maupun emosi, seperti: Kemarahan, ratapan, keteguhan hati, komitmen, hingga pengabdian iman. Ini kontras dengan sahabat-sahabatnya yang memiliki pendapat yang kokoh sejak awal hingga akhir.
Dalam keadaan penuh masalah dan penderitaan, Ayub jujur bergumul di hadapan Tuhan. Sebagai manusia beriman, ia bergulat dengan serangkaian emosi yang wajar, sementara juga berupaya merekonsiliasikan pemahamannya tentang Tuhan dengan pengalaman hidupnya. Melalui segenap pengalaman tersebut, imannya bertumbuh menjadi dewasa. Saat yang sama, Ayub tetap orang beriman, tetapi ia bukan lagi Ayub yang kita jumpai pada awal kitab Ayub, sebab ia sudah diperbarui oleh Tuhan.
Sementara itu, teman-teman Ayub hanya memiliki keyakinan kepada Tuhan yang konseptual. Artinya, Tuhan yang mereka pahami adalah Tuhan yang berupa konsep, ajaran-ajaran yang baku, sebuah kumpulan ide-ide yang diajarkan turun-temurun namun tidak pernah mereka alami secara pribadi. Tidak heran apabila kepercayaan iman mereka cenderung datar, karena mereka tidak diubahkan oleh penderitaan dan pergumulan Ayub.
Ayub hingga akhirnya tetap mempertahankan ketidakbersalahannya. Saat bersamaan, ia tetap beriman bahwa Tuhan akan bertindak menempatkan semuanya pada tempatnya. Ayub meyakini, bahwa pada akhirnya semua itu hanya bersifat sementara dan akan berlalu. Perhatikanlah bahwa Ayub sudah tidak memiliki kriteria-kriteria yang kaku. Ia membuka ruang yang luas bagi keterbatasan pengetahuannya dan kemahakuasaan Tuhan.
Hari ini kita akan melanjutkan belajar dari kitab Ayub dengan topik: “A Package of Blessings and Temptations (Satu Paket Berkat dan Ujian)”. Bacaan Sabda saya ambil dari Ayub 26:1 – 27:23. Sahabat, lanjutan ucapan Ayub dimulai dengan sindiran terhadap ucapan Bildad yang dianggapnya tidak bermutu (26:1-4) karena Ayub mengenal Allah, diri sendiri, dan memahami akhir orang fasik jauh lebih baik daripada Bildad dan teman-temannya. Melalui ucapannya, Ayub memperkenalkan Allah sebagai Penguasa dan Pengendali segala sesuatu, mulai dari dunia orang mati (26:5-6), angkasa luar (26:7), cuaca (26:8-9), hingga kepada langit dan laut (26:10-13).
Selanjutnya Ayub menyatakan imannya kepada Allah meskipun ia tidak memahami mengapa Allah mengizinkannya mengalami semua penderitaan itu. Perkataan “Allah . . . tidak memberi keadilan kepadaku” serta “Yang Mahakuasa . . . memedihkan hatiku” (27:2) harus dipahami sebagai bahasa puisi, sehingga tidak boleh diartikan secara literal bahwa Ayub menuduh Allah berlaku tidak adil. Sebaliknya, perkataan itu adalah ungkapan ketidakpahaman kepada kehendak Allah atas dirinya.
Sahabat, meskipun demikian, Ayub sama sekali tidak meragukan kebaikan Allah dan mengkompromikan kebenaran (27:4-6). Ayub menutup ucapannya di pasal ini dengan kecaman kepada orang fasik (27:7-23) untuk membuktikan bahwa ia sadar bahwa dirinya tidak termasuk orang fasik, karena ia tak mungkin mengecam dirinya sendiri.
Ada cukup banyak orang percaya menerima berkat Allah dengan ucapan syukur tanpa mempertanyakan alasan Allah memberkatinya; sebaliknya ketika menghadapi kesulitan, masalah, dan penderitaan, mereka begitu gampang mempertanyakan alasan mengapa Allah mengizinkan ujian terjadi dalam hidupnya. Sebagai orang percaya seharusnya kita memiliki kesiapan yang sama untuk menerima BERKAT dan UJIAN dari Allah, yang sama-sama sulit dipahami. Haleluya! Tuhan itu baik.
Berdasarkan hasil perenunganmu dari bacaan kita pada hari ini, jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:
- Pesan apa yang Sahabat peroleh dari hasil perenunganmu pada hari ini?
- Apa yang Sahabat pahami dari Ayub 26:2?
Selamat sejenak merenung. Simpan dalam-dalam di hati: Jangan sampai kita hanya berpangku tangan pada saat melihat kesesakan orang lain. (pg).