Kasih
Dengan sadar saat hendak menulis tema ini, ada peluang kemungkinan aku terperosok pada ungkapan-ungkapan alias penuturan-penuturan klise yang pernah Anda baca atau dengar tentang kasih. Karena tema ini sudah sangat banyak disampaikan dan oleh para pakarnya lagi. Entah itu dari Teologi maupun dari Psikologi,
dan saya bukan keduanya.
Tapi kalau Anda tetap mau melanjutkan baca, silakan.
*
Ada begitu banyak layer di dalam kasih yang bisa diungkap dan perbincangkan.
Kali ini aku hanya pengin menyampaikan 3 hal dari yang banyak itu.
1. Kasih bukan hanya berani mengampuni tetapi juga meminta maaf
Dua puluh tahun lalu suatu permasalahan pelik terjadi padaku. Bukan dengan orang yang jauh, tetapi justru dengan orang dekat. Senior dalam kerabat.
“Kalau Boedi nggak meminta maaf kepadaku, aku nggak mendukung kegiatannya!”
Kira-kira dia mengatakan itu.
Apa sih kesalahanku saat itu? Sampai sekarang pun aku nggak tahu persis.
Dengan usia yang masih muda, ketika itu aku sempat termanguAku konsultasi dengan sahabat rohaniku atau bisa dibilang guru rohaniku.
“Apakah aku harus meminta maaf, yang nuraniku sendiri merasa tak melakukan kesalahan?” Kalau itu terjadi mengait orang yang jauh, saat itu mungkin kuabaikan. Tapi ini bersinggungan dengan orang dekat.
Dan yang menarik guru rohaniku itu merespons,” Minta maaflah Boedi!”
“Meski aku tidak bersalah guru?”
“Iya, meski kamu tidak bersalah! Permintaan maaf itu sejatinya bukan semata pengakuan bersalah, tetapi mengait pula pada disalah pahami yang merusak suasana relasi!
Beri kesempatan dia melihat kasihmu kepadanya!”
Dengan sangat berat hati aku melakukan pesan guruku ini. Meminta maaf yang aku sendiri tak tahu kesalahanku sebenarnya.
Tapi ternyata yang dulu terasa menyesakkan, kalau kutengok saat ini menjadi hal yang melegakan. Dan itu menjadi kenangan indah bagi perjalanan spiritualku. Membuka sudut pandangku, bahwa kasih itu memang harus siap mengampuni tanpa syarat kepada orang yang bersalah kepada kita. Tetapi kasih pun harus berani meminta maaf, apalagi kalau memang kita bersalah.
Berapa banyak di antara kita yang gengsi untuk meminta maaf? Terutama kepada sesama yang dianggap tidak perlu kita melakukan permintaan maaf (walau kita bersalah).
2. Kasih itu bukan hanya memberi tetapi juga menerima
Sesungguhnya menerima pemberian orang lain dengan lapang dan gembira hati pun bagian dari sikap hati yang mengasihi. Apalagi bila itu pemberian dari orang yang kita anggap lebih sederhana dari kita.
Aku sangat berterima kasih dan menikmati masakan ataupun snack pemberian PRT yang bila kebetulan dia bawa sepulang dari rumah di desa, meskipun barangkali kadang berbeda dengan cita rasa lidahku.
Hatiku juga senang ketika suatu saat asistenku membawa sebuah mangga dari pohon mangganya di pekarangan.
“Maaf Pak cuman satu ya…”
“Nggak apa-apa. Terima kasih banyak. Aku senang kok!”
Orang yang memberi sesuatu kepada kita, dan kita antusias meresponinya dengan gembira. Akan membikin hatinya bahagia.
Kasih memang memberi. Tapi jangan lupa kasih pun rela menerima dari orang lain.
Bukan hanya barang, tetapi juga diri.
3. Kasih itu bukan hanya kepada yang layak menerima
Kalau pengin menguji kasih seseorang (termasuk nurani kita sendiri) kepada orang lain adalah kasih nyatanya (kita) kepada orang-orang yang sepertinya tak layak menerima kasih itu.
Orang-orang yang seperti apa itu?
Orang-orang yang selama ini seakan mengabaikan kasih kita. Orang-orang yang bukan hanya tidak berterima kasih kepada perbuatan kita kepadanya, tetapi justru membalasnya dengan keburukan. Bikin memeras hati. Kepada orang-orang yang seperti inilah, kemurnian kasih kita diuji.
*
Kasih yang besar itu ternyata mengalahkan:
Cengli-cenglian, adil-adilan, ijir-ijiran bahkan pada tahap tertentu, pun mengalahkan bener-beneran.
Apa jadinya, andai Tuhan sebelum melimpahkan kasih-Nya kepada kita, Dia memakai aturan cengli-cenglian terlebih dulu?
Selamat pagi.
Semarang, 30 Agustus 2020
Setio Boedi