+62 24 8312162

Hot Line Number

+62 24 8446048

Fax

Jl. Sompok Lama no. 62c Semarang

Kantor Pusat

TUHAN CAMPUR TANGAN MEMBENTUK SAYA

TUHAN CAMPUR TANGAN MEMBENTUK SAYA

Saya masih ingat benar, pada tahun 1977 orangtua saya bercerai,  saat saya masih berusia 4 tahun bersama kakak dan dua adik saya, yang saat itu masih di bawah 5 tahun. Saya terima keputusan mereka dan saya harus berpisah dengan mama dan adik bungsu yang masih bayi.

Dari Solo kami pindah ke Bandung, memulai hidup baru dengan papa sebagai single father. Dia begitu sayang kepada kami, antara bekerja dan merawat kami dengan bantuan seorang pembantu dari Solo yang kami panggil dengan sebutan Mbok.

Meski cuma 3 tahun, masa kecil saya di bawah asuhan papa sangat indah, sampai tahun 1980 papa memutuskan untuk keluar negeri untuk mencari peluang pekerjaan yang lebih baik.

Papa menitipkan kami di bawah asuhan orangtuanya di Semarang dengan janji dalam satu tahun kami akan dijemput lagi. Kakek dan nenek saya dan keluarga besar Papa meski Kristen memiliki gaya tentara dalam pengasuhan anak, karena terpengaruh budaya Belanda.

Tahun berganti tahun, Papa tidak kembali, saya dan saudara-saudara sangat tertekan. Sebagai anak perempuan, saya sangat merindukan Papa. Saat umur 7 tahun terlintas keinginan untuk mati saja karena saya tidak tahan hidup jauh dari Papa. Keadaan kami sangat miskin, saya ingat jelas, kami kadang cuma makan nasi dan kecap, kalau air mati, kami tidak bisa mandi. Saat sekolah, kami tidak punya sepatu. Sepatu rusak, saya harus ikat dengan gelang karet. Dan Nenek sudah berusaha untuk merawat kami meski tubuhnya lemah dan keuangan sangat terbatas, akhirnya harus mencari jalan lain.

***

Nenek sangat aktif ikut persekutuan dan Beliau rajin ikut persekutuan di rumah Pak Adi Sutjipta di jalan Imam Bonjol. Kami selalu ikut ke mana Nenek pergi, karena kakek lebih tidak sabar lagi untuk menjaga kami. Semua saudara-saudara Papa sudah memiliki keluarga masing-masing dan kemampuan ekonomi mereka sangat terbatas sehingga tidak punya kemampuan untuk mengasuh kami bertiga.

Pada tahun 1984-an, Pak Adi memperkenalkan  Nenek saya diperkenalkan dengan panti asuhan Christopherus. Saya sangat sedih saat saya ditinggal oleh Nenek  di panti asuhan. Saya menangis karena sudah berpisah dari Mama, dari Papa, akhirnya saya pun harus berpisah  dengan saudara dan nenek  yang meski galak, dia sayang kepada saya. Tetapi suster Christine yg sangat tinggi dan murah senyum dan suster Margrit yang rambutnya putih dan keriting dan sangat ramah menyambut saya dengan penuh cinta. Saat itu ada suster Indonesia juga, suster Lydia dan suster Puryati. Mereka menjadi pengganti Papa dan Mama selama 9 tahun di panti asuhan. Saya adalah anak perempuan ketiga yang diterima di Panti Asuhan Christopherus (PA Chp). Meski masih umur 11 tahun, saya merasa paling besar di panti. Saya belajar ikut rutinitas dan aktivitas PA, termasuk membantu memasak, membersihkan kamar, menyapu kebun dan lain-lain. Setiap hari kami harus lakukan tugas masing-masing. Saya mulai betah, karena kebutuhan fisik saya terpenuhi, saya bisa makan dengan baik 3 kali sehari dan ada morning tea dan afternoon tea, dan kadang ada special dessert yang suster Margrit buat. Perlahan saya merasakan panti adalah rumah saya dan anak-anak di panti adalah kakak dan adik saya.

Saya jadi berubah dalam waktu setahun di PA, nilai sekolah membaik, saya menemukan banyak kelebihan yang saya miliki seperti kesukaan menggambar atau seni seperti drama dan menulis puisi, merangkai bunga, dan menyanyi. Suster Christine terutama memberi banyak perhatian pada keadaan emosi saya, karena trauma masa kecil, saya merasa sangat minder, malu,dan tidak percaya diri. Saya perlahan-lahan punya harga diri yang membaik, saya merasa diterima, dicintai dan dijaga dengan kasih. Saya belajar berteman, belajar memimpin, belajar melayani dan belajar mengampuni adalah sesuatu yang saya tanamkan terutama hidup di keluarga besar di panti Asuhan.

Sembilan tahun di panti meski saya sudah beradaptasi baik dan merasa sangat betah, kadang saya merasa kuatir dan berharap hidup saya berubah dengan mengharapkan untuk ketemu papa lagi. Saya sangat takut dan khawatir akan masa depan saya, terutama karena saya sudah SMA saat itu, dan PA tidak mungkin akan membiayai biaya kuliah.

Saya banyak berdoa dan belajar pegang akan janji Tuhan di Yeremia 29:11 dan Kitab Pengkhotbah 3: 11. Di tahun 1990 waktu saya kelas SMA satu, saya dibaptis dan suster Christine memperbolehkan saya memilih nama baptis sendiri, dan saya pilih Yoela, yang berarti Tuhan menolong. Saya mulai aktif melayani di Komisi Remaja Ebenhaezer di GKMI Semarang sampai saya lulus SMA, dari pelayanan musik ke pengurusan remaja.

Satu titik poin di masa remaja saya, saya mulai menyadari panggilan saya untuk menjadi seperti suster Christine, suster Margrit dan suster Puryati yang mengabdikan hidup mereka untuk melayani Tuhan di PA. Di kaum remaja saya belajar leadership skill dan saat retret remaja, saya tertarik dengan penyelesaian studi kasus, di bawah bimbingan pengurus remaja saat itu. Tuhan sudah menanamkan benih-benih masa depan di hati tanpa saya sadari.

Setelah lulus SMA Karangturi di tahun 1992 tepatnya bulan Oktober, impian saya terkabulkan, saya akhirnya bisa ke Sydney Australia untuk bisa berkumpul dengan Papa dan Kakak saya. Momentum yang sangat penting saat saya mulai beradaptasi di kehidupan dan negara yang baru.

Ternyata kehidupan di Sydney tidak semudah yang selalu saya impikan, Papa meski masih sayang dengan saya telah mempunyai istri lagi yang tidak bisa menerima saya. Dan saya mengerti saat itu mengapa sembilan tahun di PA sangat penting di kehidupan saya, untuk mempersiapkan pribadi saya dengan masa-masa yang lebih sulit di negara asing.

***

Perjalanan hidup saya berhasil semata hanya kasih anugerah Tuhan. Benih- benih cinta, kasih dan iman yang tertanam saat saya di PA bertumbuh kuat di kepribadian saya. Kerinduan untuk melayani Tuhan di bidang anak-anak yang mengalami trauma juga sudah terwujud sejak saya masih remaja.

Selama 20 tahun lebih saya terlibat di Children dan Youth Ministry di berbagai gereja, lalu saya meniti  karier selama beberapa tahun dengan berkecimpung di pendidikan anak- anak di kindergarten dan penitipan anak, dilanjutkan bekerja di Fusion, menolong anak-anak muda dari broken home yang menjadi orangtua muda (young parents). Di situlah saya memulai karier saya di case worker dan pekerjaan sosial selama 8 tahun.

Saat bekerja di organisasi Fusion, Tuhan wujudkan impian saya untuk menulis buku yang saya dedikasikan kepada suster-suster yang mengasuh saya dan untuk single mothers di Fusion. Buku ini diinspirasi oleh tulisan puisi saya waktu saya masih SMP, yang berjudul “Pengasah Intan” yang saya terjemahkan menjadi “The Diamond Polishers”. Tuhan membantu saya melihat anak anak itu seperti permata yang perlu diasah dan para ibu, guru, pengasuh adalah pengasah Intan yang setia membentuk dan mempoles menjadi permata yang bernilai tinggi. Saya adalah permata yang ditemukan oleh suster-suster di PA dan saya dibentuk, dipoles selama sembilan tahun untuk merefleksikan kasih Allah.

Buku ini saya jual untuk menggalang dana dan membantu panti- panti asuhan di Indonesia, dimulai dari PA Chp, lalu di Bali, di Timor, Kids Club di Cambodia yang saat itu diasuh oleh adik panti Theophilia Kurniani, membantu korban perang di Burma, menolong beberapa organisasi di Sydney juga, yang menjadi korban kekerasan keluarga. Tuhan pakai buku ini menjadi inspirasi buat ibu-ibu menjadi pengasah Intan yang dipakai Tuhan.

Lalu Tuhan buka jalan untuk saya kuliah meski saat itu saya sudah berumur 40 tahun. Sesuatu yang secara logika sangat susah apalagi saya sibuk dengan mengasuh ketiga putra saya dan tetap harus bekerja juga.

Saat kuliah selama dua tahun saya berkecimpung di pekerjaan mengasuh dan merawat anak- anak berkebutuhan khusus, dari autism, global delay dan berbagai complex needs. Tuhan sangat baik, setelah saya lulus, saya diterima untuk berkerja di pemerintah Australia di Departemen Perlindungan Anak ( Child Protection ) yang seleksinya sangat ketat dan susah. Sejak pertama saya datang ke Australia, saya punya mimpi untuk kerja di bidang ini, dan setelah 20 tahun merintis batu-batu loncatan dengan menekuni pelayanan di bidang anak-anak, Tuhan beri mukjizat buat saya diterima di posisi ini.

Sekarang kalau saya diberi kesempatan untuk mengubah satu hal saja di kehidupan saya di masa lalu, dengan mesin waktu sekalipun, saya sadar, saya tidak mau mengubah apapun yang sudah terjadi. Semua kejadian, masalah dan kesulitan yang terjadi entah itu hasil pilihan orangtua saya, keputusan nenek saya, atau pilihan saya untuk tidak menyerah saat keadaan tersulit pun, sudah Tuhan pakai dengan luar biasa untuk membentuk kepribadian saya. Seperti Roma 8:28, Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. (pg/sb)

Sydney, 08 Juni 2019

Susan Myihtoi

Foto : Susan Myihtoi

Leave a Reply